Tuesday, September 4, 2018

Lembaran Baru

doc.pribadi


Reina masih duduk termangu di balkon depan kamarnya, sendirian. Matanya lurus menatap langit yang kelam, menghitam. Sesekali ia merapatkan jaket tebalnya, pertanda dingin menyapa tubuhnya yang kian kurus. Sepi pun bertandang menganti riuh yang tlah tertinggal bersama derap waktu. Agggota keluarga yang sedang berkumpul, sudah memasuki dunia mimpi. Ia sengaja pamit undur diri, dengan alasan ingin istirhat. Nyatanya, mata dan pikirannya terus melayang-layang.

Dua puluh tahun telah berlalu, namun peristiwa masa kecilnya masih melekat dalam ingatannya. Bayangan itu kerap muncul ketika ia sendiri. Ia telah berusaha sekuat tenaga untuk membunuh ingatan itu. Akan tetapi, bayangan itu justru terus mengikuti dirinya yang sedang kembali terguncang.

Reina melirik Seiko-nya, “Sudah hampir pagi rupanya,” gumamnya. Namun, tak ada sedikitpun keinginan untuk beranjak. Ia masih diam membisu. Angannya kembali menerawang. Mengingat setiap episode yang telah dilaluinya. Biasanya, ia selalu mengahbiskan berjam-jam untuk ngobrol dengan Nayla sahabatnya, namun tidak untuk kali ini. Ia cukup mengingat ucapan sahabatnya itu.

“Mau sampai kapan kamu akan hidup dengan perasaan bencimu, Re?” ucap Nayla suatu waktu ketika menghabiskan senja di taman kota.

“Sampai aku bisa menerima dan mengikhlaskannya lalu memaafkan semuanya,sahut Reina dengan tatapan kosong.

“Adakah batas waktunya? tanya Nayla lagi.

“Aku ga tahu Nay, setidaknya aku telah berusaha untuk itu semua.”

“Lalu, setiap trauma itu muncul kamu akan seperti ini? Membiarkan orang-orang kalang kabut mencarimu sementara kamu bersembunyi. Membiarkan pekerjaanmu kacau dan terbengkalai dalam waktu yang tidak tentu? Hiduplah di masa sekarang, Re! Hari ini aku masih bisa menemanimu, memarahimu, mengikuti kemauanmu, menjadi tempat segala keluhmu tapi apakah aku akan ada disisimu terus? tentu saja tidak! Setelah senja ini berakhir, aku akan meninggalkanmu. Silahkan lanjutkan hidupmu!” ucap Nayla tegas. Reina masih terdiam, tak berkutik sedikitpun.

“Aku akan ke Melbourne pekan depan, kebersamaan kita tentu tidak lagi seperti sekarang. Aku berharap kamu bisa beranjak dari dunia masa lalumu. Menepati janjimu untuk menggapai mimpi bersama.” lanjut Nayla. Reina masih terdiam. Nayla pun sama.

Pipi Reina basah, air matanya terus mengalir, nafasnya kian sesak. Ia, sedang berjuang menuntaskan segala perih yang masih saja belum reda. Waktu yang terus bertambah masih belum cukup untuk berdamai dengan takdir yang telah terlewati. Bukan waktu, tetapi seberapa luas hatinya untuk berdamai, menerima dengan sebaik-baik penerimaan. Mengikhlaskan dan kemudian menjadikannya pelajaran atau semangat untuk terus berkarya.

Maulana ya maulana Ya sami' duana Maulana ya maulana Ya sami' duana


Bunyi alarm ponsel Reina berbunyi. Menyudahi tangisnya, lebih tepatnya membuatnya  bergegas menyudahi tangisnya. Reina beranjak, melangkahkan kakinya. Ia membasuh diri dengan wudhu, berharap ketenangan menyusup perlahan. Menguatkan keyakinannya, mendamaikan hatinya. Bagaimanapun hari ini adalah hari yang paling penting dalam sejarah hidupnya. Reina telah memutuskan hal besar, meski ia harus melewati fase yang paling upnormal. Ya, nanti pukul sembilan pagi Reina akan menggenap. Membuka lembaran baru dan berdamai dengan gelap di masa lalu.

2 comments:

  1. Maaf sebelumnya kak, Jujur kak aku awalnya nggk tau apa itu seiko yang ternyata jam tangan, kalo boleh saran untuk dijelaskan sedikit akhir tulisan/ dikasih tanda bintang, kyk footnote gitu... (Nggk tau namanya apaan kalo di cerpen) .. Tapi aku nggk tau juga kalo misal di cerpen/cerita nggk ada yg kayak gutuan... Wkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ok. Ku pikir banyak yang tahu kan soalnya itu merk jam legendaris. Hehehee..
      Thankyou masukannya

      Delete