doc.pribadi |
Reina masih duduk termangu di balkon depan kamarnya, sendirian. Matanya lurus menatap langit
yang kelam, menghitam. Sesekali ia merapatkan jaket tebalnya, pertanda dingin
menyapa tubuhnya yang kian kurus. Sepi pun bertandang menganti riuh yang tlah
tertinggal bersama derap waktu. Agggota keluarga yang sedang berkumpul,
sudah memasuki dunia mimpi. Ia sengaja pamit undur diri, dengan alasan ingin
istirhat. Nyatanya, mata dan pikirannya terus melayang-layang.
Dua puluh tahun telah berlalu, namun peristiwa masa kecilnya masih
melekat dalam ingatannya. Bayangan itu kerap muncul ketika ia sendiri. Ia telah
berusaha sekuat tenaga untuk membunuh ingatan itu. Akan tetapi, bayangan itu
justru terus mengikuti dirinya yang sedang kembali terguncang.
Reina melirik Seiko-nya,
“Sudah hampir pagi rupanya,” gumamnya. Namun, tak ada sedikitpun keinginan
untuk beranjak. Ia masih diam membisu. Angannya kembali menerawang. Mengingat
setiap episode yang telah dilaluinya. Biasanya, ia selalu mengahbiskan
berjam-jam untuk ngobrol dengan Nayla sahabatnya, namun tidak untuk kali ini.
Ia cukup mengingat ucapan sahabatnya itu.
“Mau sampai kapan kamu akan hidup dengan perasaan bencimu, Re?”
ucap Nayla suatu waktu ketika menghabiskan senja di taman kota.
“Sampai aku bisa menerima dan mengikhlaskannya lalu memaafkan
semuanya,” sahut Reina dengan
tatapan kosong.
“Adakah batas waktunya? tanya Nayla lagi.
“Aku ga tahu Nay, setidaknya aku telah berusaha untuk itu semua.”
“Lalu, setiap trauma itu muncul kamu akan seperti ini? Membiarkan
orang-orang kalang kabut mencarimu
sementara kamu bersembunyi.
Membiarkan pekerjaanmu kacau dan terbengkalai dalam waktu yang tidak tentu?
Hiduplah di masa sekarang, Re! Hari ini aku
masih bisa menemanimu, memarahimu, mengikuti kemauanmu, menjadi tempat segala
keluhmu tapi apakah aku akan ada disisimu terus? tentu saja tidak! Setelah senja ini
berakhir, aku akan meninggalkanmu. Silahkan lanjutkan hidupmu!” ucap Nayla
tegas. Reina masih terdiam, tak berkutik sedikitpun.
“Aku akan ke Melbourne pekan depan, kebersamaan kita tentu tidak
lagi seperti sekarang. Aku berharap kamu bisa beranjak dari dunia masa lalumu.
Menepati janjimu untuk menggapai mimpi bersama.” lanjut Nayla. Reina masih
terdiam. Nayla pun sama.
Pipi Reina basah, air matanya terus mengalir,
nafasnya kian sesak. Ia, sedang berjuang menuntaskan segala perih yang masih
saja belum reda. Waktu yang terus bertambah masih belum cukup untuk berdamai
dengan takdir yang telah terlewati. Bukan waktu, tetapi seberapa luas hatinya
untuk berdamai, menerima dengan sebaik-baik penerimaan. Mengikhlaskan dan
kemudian menjadikannya pelajaran atau semangat untuk terus berkarya.
Maulana ya maulana Ya sami'
duana Maulana ya maulana Ya sami' duana
Bunyi alarm ponsel Reina berbunyi.
Menyudahi tangisnya, lebih tepatnya membuatnya
bergegas menyudahi tangisnya. Reina beranjak, melangkahkan kakinya. Ia membasuh
diri dengan wudhu, berharap ketenangan menyusup perlahan. Menguatkan
keyakinannya, mendamaikan hatinya. Bagaimanapun hari ini adalah hari yang
paling penting dalam sejarah hidupnya. Reina telah memutuskan hal besar, meski
ia harus melewati fase yang paling upnormal.
Ya, nanti pukul sembilan pagi Reina akan menggenap. Membuka lembaran baru dan
berdamai dengan gelap di masa lalu.
Maaf sebelumnya kak, Jujur kak aku awalnya nggk tau apa itu seiko yang ternyata jam tangan, kalo boleh saran untuk dijelaskan sedikit akhir tulisan/ dikasih tanda bintang, kyk footnote gitu... (Nggk tau namanya apaan kalo di cerpen) .. Tapi aku nggk tau juga kalo misal di cerpen/cerita nggk ada yg kayak gutuan... Wkwkwk
ReplyDeleteOk. Ku pikir banyak yang tahu kan soalnya itu merk jam legendaris. Hehehee..
DeleteThankyou masukannya