Tiga puluh tahun lalu, saya terlahir di sebuah desa yang sebagian besar masyarakatnya bergantung pada hasil bumi. Konon katanya kondisi perekonomian waktu itu tidak seperti sekarang. Ini sih jelas ya, sudah beda zaman tentunya.
Saya lahir di Temanggung, sebuah kota kecil yang tak terkenal, namun begitu di sebut tembakau langsung tersebut nama kota di mana saya dilahirkan. Tembakau merupakan bahan pokok dalam pembuatan rokok. Dari rokok ini pendapatan devisa negara bertambah. Peringatan bahaya merokok yang dicantumkan dalam bungkus rokok tidak mempengaruhi turunnya jumlah perokok. Reklame di jalan-jalan yang menghimbau jauhi rokok tersebab bahaya yang ditimbulkan, sama sekali tidak memberikan dampak positif. Perusahaan rokok semakin jaya dan tembakau tetap tumbuh dengan gagahnya.
Tembakau atau kemudian dikenal dengan emas hijau yang tumbuh subur pada musim tanamnya memang menjanjikan kemewahan bagi empunya. Harga per kilogramnya fantastis untuk ukuran hasil bumi berupa daun. Tidak ada yang tidak tergiur, apalagi jika daun-daun yang diperam mampu mengahasilkan tembakau srintil yang harga per kilogramnya bisa menembus jutaan rupiah. Bisa dihitung berapa keuntungan yang akan diperoleh sekali musim tanam. Tidak heran jika setelah musim tanam tembakau berakhir, banyak mobil baru berjajar di depan rumah para petani tembakau.
Sebagai seorang sarjana pertanian yang tidak pro rokok, pernah terfikirkan bagaimana caranya menggeser tembakau dari singgasananya dengan tanaman yang juga tidak kalah profitasnya. Ini bukan pekerjaan ringan. Budaya, keyakinan masyarakat dan janji kehidupan yang ditawarkan oleh tembakau menjadi tembok yang paling kuat. Harus melibatkan banyak pihak termasuk pemerintah daerah dan pusat. Pemerintah menjadi kunci dalam upaya pergeseran tersebut, tersebab regulasi yang mengatur boleh tidaknya tanaman itu tumbuh dan berkembang adalah pemerintah.
Misalnya nikotin yang terkandung di dalam tembakau dapat digolongkan obat-obat berbahaya sebagaimana ganja tentu pembuatan regulasi yang mengatur tentang tembakau lebih mudah. Barangkali bahaya nikotin tidak sebesar ganja. Padahal bahaya merokok dan penghisap asap rokok jelas-jelas ada dan tidak ringan.
Emas hijau adalah pembawa keberuntungan sekaligus malapetaka, menurut saya. Banyak masyarakat yang hidupnya bergantung padanya, bahkan banyak anak-anak muda yang bisa meraih cita-citanya berkat beasiswa perusahaan rokok. Negara ini juga mendapat devisa yang tidak sedikit juga dari tembakau dan rokok. Namun bahaya yang mengancam juga tidak ringan.
Jika dikalkulasi keuntungan dan bahaya yang ditimbulkan tetap lebih besar bahayanya. Dulu, sempat ada rumor rokok harganya mau dinaikkan bahkan ada salah satu stasiun televisi yang serius menggelar dialog mengenai ini. Pro dan kontra. Barangkali jika itu digulirkan dapat mengurangi jumlah perokok dan tentu saja ragam bahaya yang ditimbulkan bisa terminimalisir. Namun hasilnya? hingga saat ini harga rokok masih terjangkau dan jumlah perokok sepertinya kian bertambah.
Si gagah emas hijau memang mempunyai daya tawar tersendiri untuk tetap menjadi tembakau bukan yang lain. Kalaupun kandungan bahan kimia yang terkandung bisa berpotensi menjadi zat lain seperti pestisida misalnya, namun pesona menjadi tembakau tetap lebih menggiurkan.
Bojongsari, 03042018
No comments:
Post a Comment