Tuesday, February 20, 2018

Sembilan Puluh Enam Hari




Ada sendu yang terus menguntit ketika fajar menyapa hari. Menatapmu yang lekat di tubuhku yang seakan enggan untuk terlepas. Setengah terjaga, sambil terus mencecap air kehidupan yang mengalir melalui organ tubuhku. Kau tentu saja belum bisa berkata-kata, hanya bermacam tangisan sebagai bahasa komunikasi. Namun caramu, seakan mengerti bahwa beberapa jam ke depan kita akan terpisah ruang dan waktu untuk sementara.

Nduk, seandainya Bunda bisa memilih atau lebih tepatnya berani mengambil berbagai resiko tentu akan tentram berada di dekatmu. Menemani menit-menit yang kau lalui dengan fase yang terus tumbuh. Namun, hingga detik ini Bunda masih berada pada posisi yang sama. Meninggalkanmu 10 jam  selama 5 hari dalam sepekan bersama orang lain. Ah,...tentu banyak moment yang terlewat. Apalagi siang adalah saatmu banyak terjaga dan membutuhkan pendamping. Tapi, tenang Nduk, selama Bunda tidak ada di sampingmu ada Alloh yang senantiasa ada di dekatmu, justru Dialah sebaik-baik penjaga. Ada banyak kekhawatiran yang berkelebat, mengusik, menggoda dan membuat Bundamu ini baper. Sekali lagi, maafkan Bunda yang belum bisa berani untuk mundur dan memilih membersamaimu.

Islam tidak melarang perempuan bekerja di luar rumah, namun di rumah lebih utama bahkan wajib, jika bekerja di luar justru akan mendatangkan banyak mudharat. Nduk, kelak kau akan memahami bahwa ada banyak konsekuensi ketika sebuah pilihan diambil. Ada tanggung jawab yang harus dipenuhi, dan ada perasaan yang siap untuk dirasakan. Semoga kau mengerti, bahwa ketidakberanian ini bukan keegoisan atau sebagai alasan semata. Namun, inilah peran yang telah Bunda pilih. Ini pernah Bunda ceritakan sewaktu kau masih asyik dalam rahim Bunda.

Waktu bersamamu menjadi teramat berharga. Rasa-rasanya baru kemarin, tetapi sembilan puluh enam hari telah terlewati. Ada fase saat kamu benar-benar hanya ingin nempel semaleman, ada fase saat kamu sering menangis, ada fase saat kamu hanya ingin terlelap,  ada fase saat kamu mulai berceloteh, dan Bunda masih menunggu fase-fase lain yang membahagiakan. 

Bunda masih sering menangis saat menjumpaimu selepas bekerja. Bunda merasa belum bisa memenuhi hakmu sepenuhnya. Menangis memang tidak solutif bahkan terdengar cengeng. Tapi hanya itu yang keluar. Ah,...memilikimu memang sesuatu. Tak terdefinisi. Semoga sahabat-sahabat yang belum dikasih kesempatan ini bisa merasakan apa yang aku rasakan. Semoga Alloh memberikan jalan untuk mereka. Aamiin.

Nduk, teruslah bertumbuh kembang dengan sebaik-baiknya. Kita sama-sama belajar untuk saling mengerti dan memahami bahwa apa yang kita ingin belum tentu pas dan pasti kita dapatkan. Dan dari sanalah kita belajar untuk menerima, ikhlas, sabar, dan bersyukur. Kalau di dunia kesempatan kita untuk terus bersama-sama terkurangi, semoga kelak di akhirat berbalik. Kita berkumpul di jannah-NYA yang abadi. Aamiin.

Selamat bertumbuh dan berkembang anakku sayang!

No comments:

Post a Comment