Semalam hujan deras. Aku bisa menciumnya pagi ini. Semalam
dia menangis hebat. Aku bisa melihatnya. Dari wajahnya yang terus ditekuk dan
kelopak matanya yang bengkak.
Pagi ini matahari masih malu untuk keluar dari peraduannya.
Aku hanya menjumpai dingin yang mulai masuk pori-pori kulitku yang cokelat
gelap. Bukan hitam, sebab jika bersanding dengan jelaga panci tak sama. Sepagi
ini aku juga sudah menemui air, agar keringat dan bekas lelap semalam pergi.
Aku tidak ganteng namun juga tidak jelek-jelek amat, jadi aku harus mengguyur
tubuhku dengan air agar orang-orang tak kejatuhan dosa karena menggunjingku
yang berbau.
Aku melihatnya jalan menunduk cepat-cepat menuju tempat ia
menghabiskan hari. Aku tak menyapa seperti biasanya. Hanya cukup memperhatikannya
dari dekat dan juga jauh. Bukan aku cemen dan sebangsanya, hanya enggan. Namun
tidak untuk menatapnya lama-lama atau seksama mendengarkan artikulasi
bicaranya.
Aku masih berdiri di depan balkon kamar kos hingga
perlahan-lahan matahari yang aku tunggu menyapa. Pekerja sepertiku memang harus
dinikmati, datang kekantor tak perlu pagi-pagi meski pulang tak kenal waktu.
Aku sengaja memilih untuk tidak berangkat pagi-pagi, sebab aku ingin melihat
matahari, menikmati perjalanan hangatnya.
Dia sudah lenyap dari mataku. Aku berharap dia baik-baik
saja. Kalaulah hatinya luka, semoga akan segera membaik. Aku tahu dia kuat,
kalau ia menangis hebat bukan karena lemah tetapi karena sesuatu telah mengusik
hatinya yang lembut.
Matahari telah mengangkasa. Kopi hitamku sudah tandas. Aku
berangkat. Aku tak perlu menyemprot tubuhku dengan alkohol wangi, dia tidak
suka. Sepatu sport bertali, celana berbahan jeans, hem bergaris warna gelap,
tak perlu minyak rambut, itulah gaya yang dia suka. Bahagia, kerja bukan pada
tempat yang mewajibkan karyawannya berseragam, ber jas dan pakaian pembatas
lainnya. Kuda besi sudah siap menemani, sudah ku lap bersih. Dia tidak suka
motor kotor.
Aku bersiap, menghabiskan hari pada deretan huruf dan
angka-angka. Ponsel pintarku berbunyi dan bergetar. Ibu.
“Selamat pagi perempuan terhebatku!” sapaku dengan riang.
“Pagi jagoan Ibu yang masih betah sendiri!” balasnya. Kode
apalagi yang hendak disampaikan oleh perempuan cantikku itu.
“Ada angin apakah, hingga pagi sekali Ibu sudah
memanggilku?”
“Akhir bulan ini, sepupu kamu Burhan menikah. Pulang ya!”
“Siap komandan! Burhan juga sudah memintaku pulang untuk
menemani detik sakral dalam hidupnya.”
“Lalu kapan kamu hendak menggenap?”
Ah,…lagi-lagi pertanyaan serupa. Jawaban apalagi yang hendak
kusampaikan untuk mendamaikannya dan menghibur hatiku yang semakin ciut ini.
Aku tak tega melukainya, namun buru-buru bukan langkah yang tepat.
“Sampai Sang Pencipta mengijinkan dan memberikan kesempatan
serta bidadari yang tepat.”
“Usahamu apa?”
“Mendoakan kebaikannya dan menatapnya dari jauh.”
“Kapan memastikannya dia mau sama kamu?”
“Pada waktu yang tepat, Ibu!”
“Kapan?”
“Akhir bulan ini, sebelum pulang. Akan aku pastikan.”
“Baiklah, Ibu tunggu.”
Klik. Mati. Aku termangu. Janji macam apa yang aku sampaikan
tadi? Benarkah aku mampu? Sedang menyapa saja aku masih enggan, bagaimana akan
memastikan. Aku tahu, meski tidak paham betul. Bukankah menikah tak perlu
dengan kesana kemari yang katanya pengenalan itu. Hatiku telah memilih. Aku
yakin, dia. Akan tetapi, bagaimana dengannya? Apakah dia masih sendiri? Makin
kacau saja pikiran ini. Berangkat adalah satu-satunya cara memutus rangkaian
pikiran ini.
***
Pagi ini, libur. Hari minggu seperti yang lain, meski
keabsahannya tidak pernah ada yang tahu. Hanya diyakini bahwa ini hari minggu.
Aku tetap bangun seperti biasanya. Tak perlu beralasan mumpung minggu dan libur
untuk menghabiskan waktu dengan malas dan kasur.
Seperti hari-hari yang lain. Aku menunggu matahari. Kali ini
dengan jalan kaki mengitari jalanan pembatas antara deret rumah yang satu
dengan yang lainnya.
Kemantapan itu datang dari sebuah mimpi, tentu saja setelah
berhari-hari memikirkan dan kerasnya do’a – do’a. Semoga matahari mendukungku.
Ku pilih pagi agar tak patah hati berlebihan.
Aku yakin, rumah yang berwarna biru muda dengan beraneka
tanaman dan bunga-bunga adalah tempat tinggalnya. Tepat. Aku melihatnya sedang
bercengkrama dengan aneka warna tetumbuhan itu. Matanya berbinar. Wajahnya
sumringah.
“Selamat pagi!” sapaku dengan nada yang dibuat sedatar mungkin.
“Selamat pagi, Mas Arga! Ada yang bisa saya bantu?”
“Bapak, Ibu ada di rumah?”
“Ada Mas.”
“Boleh saya bertemu mereka? Saya ada perlu.”
Ia mengangguk dengan berbagai pertanyaan sepertinya. Rumah
yang menyenangkan tampaknya. Bersih, rapi dan sejuk.
“Silahkan duduk, Mas!”
“Baik, Pak, Bu! Terimakasih?”
“Kata anak saya, Mas ini ada perlu sama kami?”
“Betul, perkenalkan nama saya Muhammad Arga Pamungkas. Bapak dan Ibu bisa
memanggil saya Arga. Kita sering bertemu di masjid komplek ini hanya saja
mungkin bapak tidak paham. Saya rekan bekerja Nayla putri Bapak dan Ibu. Baru
sekitar enam bulan saya kenal dengan putri bapak dan tahu kalau Nayla juga
tinggal di komplek ini. Saya mengamati dan memperhatikan Nayla sejak saya harus
bekerjasama, karena kebetulan kami satu bidang yang sama sejak tiga bulan yang
lalu. Sepemahaman saya Nayla adalah perempuan yang insyaalloh baik dan bisa
menjadi rekan hidup yang baik pula. Kedatangan saya pagi ini, hendak meminta
Nayla menjadi pendamping hidup saya, jika Nayla masih belum ada yang meminta,
Nayla setuju dan Bapak serta Ibu mengijinkan.”
Kaget. Begitulah kira-kiranya perasaan kedua orang tua
Nayla. Dia, seseorang yang aku perhatikan setiap hari selama tiga bulan
terakhir ini.
“Bagiamana mas Arga yakin dengan anak saya? Dan Nayla tidak
pernah bercerita apa-apa selain dia pindah divisi tiga bulan yang lalu. Sedekat
apa Mas Arga dengan Nayla?”
“Keyakinan itu datang dari yang Maha Kuasa Pak, setelah saya
pikir lebih dalam dan berdo’a. Saya dengan Nayla sebatas rekan kerja, tidak
dekat secara pribadi apalagi sampai pacaran seperti kebanyakan orang. Ada semacam
perasaan yang menggerakkan hati dan pikiran saya untuk terus mengamati Nayla.
Hal ini tidak baik Pak, kalau tidak segera dituntaskan, takut keimanan saya
runtuh dan akhirnya salah memilih langkah. Sebagai laki-laki yang telah
diajarkan untuk bertanggungjawab, saya memilih untuk langsung meminta sama
Bapak.”
“Kalau ternyata Nayla sudah ada yang meminta atau dia
menolakmu, bagaimana?”
“Kalau sudah ada yang meminta, Alhamdulillah. Semoga
kebahagiaam dan keberkahan menyelimutinya. Jika Nayla menolak, Alhamdulillah.
Semoga ini adalah jawaban terbaik dari usaha saya.”
“Kalau ternyata Nayla tidak sebaik yang kamu pahami
bagaimana?” kali ini sang ibu yang bertanya.
“Itu adalah bagian dari rejeki dan takdir yang keduanya
adalah misteri dari Sang Khalik. Kewajiban saya hanya yakin dan berprasangka
baik. Jika ternyata ada hal-hal di luar yang saya angankan, maka kewajiban saya
sebagai suami untuk membantunya tumbuh pun sebaliknya jika ternyata saya tidak
sebaik sangkaan Nayla.”
“Apa kamu tahu kalau Nayla itu sudah janda?”
Aku menggeleng. Terkejut. Tetapi bukan sesuatu yang
membuatku harus mundur. Aku yakin, tersebab jandanya bukan karena hal buruk.
“Nayla janda, dua tahun yang lalu, perceraian itu harus
terjadi. Memang belum ada anak yang Alloh titipkan sama Nayla dari pernikahan
sebelumnya.” lalu detik berikutnya mengalir cerita sejarah hidup Nayla. Hal-hal
yang tersembunyi dari mata dan telingaku. Ah,…rahasiNYA memang terlalu
sederhana untuk ku terka. Namun keyakinan itu tak bergeser sedikitpun. Andai
Nayla yang salah atau menjadi sebab perceraian itu harus terjadi, itu adalah
masa lalunya. Sekaranglah bekal untuk menjadi rekan hidupku nanti, meski bisa
saja kesalahan itu muncul kembali. Apalah aku, siapalah aku jika berani
memplokamirkan diri telah sempurna.
“Jawabanku adalah ketika kamu datang bersama orang tuamu.
Pun ketika kamu memilih untuk mundur tersebab kondisi Nayla, saya tidak akan
mendendam atau sakit hati. Inilah bagian hidup yang harus ada.” begitu jawaban
Bapak Nayla.
Aku mengangguk. Matahari sudah semakin meninggi. Waktu dhuha
sudah berakhir. Aku pamit pulang dengan jawaban yang akan ku sampaikan kepada
Ibu dua hari lagi. Cuti yang kuambil, semoga cukup untuk menuntaskan teka-teki
lajangku. Bukan tergesa hanya mempercepat jawaban, agar hatiku tak kacau dan
hidupku normal kembali.
***
Akad pernikahan Burhan akan digelar dua hari lagi. Tetapi
pagi ini, aku sudah duduk manis di kamar penuh sejarah. Matahari mulai gagah
berjalan. Aku keluar dari kamar, mencari kopi dan perempuan terhebatku.
“Mana jawabanmu?”
“Minum kopi dulu Bu, biar lancar jawabannya.”
Aku mengajak Ibu duduk santai di belakang rumah. Di depan
rangkaian tetumbuhan yang jenisnya entah apa saja. Memang tempat ini di desain
untuk berbagi kisah dan menenangkan pikiran. Aku harus memilih pagi, agar raut
ekspresi Ibu jelas kupahami.
“Namanya Nayla, dia rekan kerjaku. Aku sudah meninta pada
Bapak dan Ibunya, jawabannya adalah ketika aku datang sama Bapak dan Ibu ke
rumahnya. Nayla janda, Bu!”
Aku berhenti menguraikan. Sampai di situ dulu, aku ingin
melihat reaksi Ibu. Tepat. Ibu diam. Matanya berkaca-kaca. Dan meninggalkanku
tanpa respon. Apakah ini ending? Aku tidak tahu. Masih ada kesempatan untuk
mengurainya. Aku sudah berusaha.
Matahari semakin tinggi dan kopiku sudah tandas dari tadi.
Purwokerto, 06 September 2017
No comments:
Post a Comment