Wednesday, September 6, 2017

Dia



      
Semalam hujan deras. Aku bisa menciumnya pagi ini. Semalam dia menangis hebat. Aku bisa melihatnya. Dari wajahnya yang terus ditekuk dan kelopak matanya yang bengkak.
Pagi ini matahari masih malu untuk keluar dari peraduannya. Aku hanya menjumpai dingin yang mulai masuk pori-pori kulitku yang cokelat gelap. Bukan hitam, sebab jika bersanding dengan jelaga panci tak sama. Sepagi ini aku juga sudah menemui air, agar keringat dan bekas lelap semalam pergi. Aku tidak ganteng namun juga tidak jelek-jelek amat, jadi aku harus mengguyur tubuhku dengan air agar orang-orang tak kejatuhan dosa karena menggunjingku yang berbau.

Aku melihatnya jalan menunduk cepat-cepat menuju tempat ia menghabiskan hari. Aku tak menyapa seperti biasanya. Hanya cukup memperhatikannya dari dekat dan juga jauh. Bukan aku cemen dan sebangsanya, hanya enggan. Namun tidak untuk menatapnya lama-lama atau seksama mendengarkan artikulasi bicaranya.

Aku masih berdiri di depan balkon kamar kos hingga perlahan-lahan matahari yang aku tunggu menyapa. Pekerja sepertiku memang harus dinikmati, datang kekantor tak perlu pagi-pagi meski pulang tak kenal waktu. Aku sengaja memilih untuk tidak berangkat pagi-pagi, sebab aku ingin melihat matahari, menikmati perjalanan hangatnya.

Dia sudah lenyap dari mataku. Aku berharap dia baik-baik saja. Kalaulah hatinya luka, semoga akan segera membaik. Aku tahu dia kuat, kalau ia menangis hebat bukan karena lemah tetapi karena sesuatu telah mengusik hatinya yang lembut.

Matahari telah mengangkasa. Kopi hitamku sudah tandas. Aku berangkat. Aku tak perlu menyemprot tubuhku dengan alkohol wangi, dia tidak suka. Sepatu sport bertali, celana berbahan jeans, hem bergaris warna gelap, tak perlu minyak rambut, itulah gaya yang dia suka. Bahagia, kerja bukan pada tempat yang mewajibkan karyawannya berseragam, ber jas dan pakaian pembatas lainnya. Kuda besi sudah siap menemani, sudah ku lap bersih. Dia tidak suka motor kotor.

Aku bersiap, menghabiskan hari pada deretan huruf dan angka-angka. Ponsel pintarku berbunyi dan bergetar. Ibu.

“Selamat pagi perempuan terhebatku!” sapaku dengan riang.

“Pagi jagoan Ibu yang masih betah sendiri!” balasnya. Kode apalagi yang hendak disampaikan oleh perempuan cantikku itu.

“Ada angin apakah, hingga pagi sekali Ibu sudah memanggilku?”

“Akhir bulan ini, sepupu kamu Burhan menikah. Pulang ya!”

“Siap komandan! Burhan juga sudah memintaku pulang untuk menemani detik sakral dalam hidupnya.”

“Lalu kapan kamu hendak menggenap?”

Ah,…lagi-lagi pertanyaan serupa. Jawaban apalagi yang hendak kusampaikan untuk mendamaikannya dan menghibur hatiku yang semakin ciut ini. Aku tak tega melukainya, namun buru-buru bukan langkah yang tepat.

“Sampai Sang Pencipta mengijinkan dan memberikan kesempatan serta bidadari yang tepat.”

“Usahamu apa?”

“Mendoakan kebaikannya dan menatapnya dari jauh.”

“Kapan memastikannya dia mau sama kamu?”

“Pada waktu yang tepat, Ibu!”

“Kapan?”

“Akhir bulan ini, sebelum pulang. Akan aku pastikan.”

“Baiklah, Ibu tunggu.”

Klik. Mati. Aku termangu. Janji macam apa yang aku sampaikan tadi? Benarkah aku mampu? Sedang menyapa saja aku masih enggan, bagaimana akan memastikan. Aku tahu, meski tidak paham betul. Bukankah menikah tak perlu dengan kesana kemari yang katanya pengenalan itu. Hatiku telah memilih. Aku yakin, dia. Akan tetapi, bagaimana dengannya? Apakah dia masih sendiri? Makin kacau saja pikiran ini. Berangkat adalah satu-satunya cara memutus rangkaian pikiran ini.

***

Pagi ini, libur. Hari minggu seperti yang lain, meski keabsahannya tidak pernah ada yang tahu. Hanya diyakini bahwa ini hari minggu. Aku tetap bangun seperti biasanya. Tak perlu beralasan mumpung minggu dan libur untuk menghabiskan waktu dengan malas dan kasur.

Seperti hari-hari yang lain. Aku menunggu matahari. Kali ini dengan jalan kaki mengitari jalanan pembatas antara deret rumah yang satu dengan yang lainnya.

Kemantapan itu datang dari sebuah mimpi, tentu saja setelah berhari-hari memikirkan dan kerasnya do’a – do’a. Semoga matahari mendukungku. Ku pilih pagi agar tak patah hati berlebihan.

Aku yakin, rumah yang berwarna biru muda dengan beraneka tanaman dan bunga-bunga adalah tempat tinggalnya. Tepat. Aku melihatnya sedang bercengkrama dengan aneka warna tetumbuhan itu. Matanya berbinar. Wajahnya sumringah.

“Selamat pagi!” sapaku dengan nada yang dibuat sedatar mungkin.

“Selamat pagi, Mas Arga! Ada yang bisa saya bantu?”

“Bapak, Ibu ada di rumah?”

“Ada Mas.”

“Boleh saya bertemu mereka? Saya ada perlu.”

Ia mengangguk dengan berbagai pertanyaan sepertinya. Rumah yang menyenangkan tampaknya. Bersih, rapi dan sejuk.

“Silahkan duduk, Mas!”

“Baik, Pak, Bu! Terimakasih?”

“Kata anak saya, Mas ini ada perlu sama kami?”

“Betul, perkenalkan nama saya  Muhammad Arga Pamungkas. Bapak dan Ibu bisa memanggil saya Arga. Kita sering bertemu di masjid komplek ini hanya saja mungkin bapak tidak paham. Saya rekan bekerja Nayla putri Bapak dan Ibu. Baru sekitar enam bulan saya kenal dengan putri bapak dan tahu kalau Nayla juga tinggal di komplek ini. Saya mengamati dan memperhatikan Nayla sejak saya harus bekerjasama, karena kebetulan kami satu bidang yang sama sejak tiga bulan yang lalu. Sepemahaman saya Nayla adalah perempuan yang insyaalloh baik dan bisa menjadi rekan hidup yang baik pula. Kedatangan saya pagi ini, hendak meminta Nayla menjadi pendamping hidup saya, jika Nayla masih belum ada yang meminta, Nayla setuju dan Bapak serta Ibu mengijinkan.”

Kaget. Begitulah kira-kiranya perasaan kedua orang tua Nayla. Dia, seseorang yang aku perhatikan setiap hari selama tiga bulan terakhir ini.

“Bagiamana mas Arga yakin dengan anak saya? Dan Nayla tidak pernah bercerita apa-apa selain dia pindah divisi tiga bulan yang lalu. Sedekat apa Mas Arga dengan Nayla?”

“Keyakinan itu datang dari yang Maha Kuasa Pak, setelah saya pikir lebih dalam dan berdo’a. Saya dengan Nayla sebatas rekan kerja, tidak dekat secara pribadi apalagi sampai pacaran seperti kebanyakan orang. Ada semacam perasaan yang menggerakkan hati dan pikiran saya untuk terus mengamati Nayla. Hal ini tidak baik Pak, kalau tidak segera dituntaskan, takut keimanan saya runtuh dan akhirnya salah memilih langkah. Sebagai laki-laki yang telah diajarkan untuk bertanggungjawab, saya memilih untuk langsung meminta sama Bapak.”

“Kalau ternyata Nayla sudah ada yang meminta atau dia menolakmu, bagaimana?”

“Kalau sudah ada yang meminta, Alhamdulillah. Semoga kebahagiaam dan keberkahan menyelimutinya. Jika Nayla menolak, Alhamdulillah. Semoga ini adalah jawaban terbaik dari usaha saya.”

“Kalau ternyata Nayla tidak sebaik yang kamu pahami bagaimana?” kali ini sang ibu yang bertanya.

“Itu adalah bagian dari rejeki dan takdir yang keduanya adalah misteri dari Sang Khalik. Kewajiban saya hanya yakin dan berprasangka baik. Jika ternyata ada hal-hal di luar yang saya angankan, maka kewajiban saya sebagai suami untuk membantunya tumbuh pun sebaliknya jika ternyata saya tidak sebaik sangkaan Nayla.”

“Apa kamu tahu kalau Nayla itu sudah janda?”

Aku menggeleng. Terkejut. Tetapi bukan sesuatu yang membuatku harus mundur. Aku yakin, tersebab jandanya bukan karena hal buruk.

“Nayla janda, dua tahun yang lalu, perceraian itu harus terjadi. Memang belum ada anak yang Alloh titipkan sama Nayla dari pernikahan sebelumnya.” lalu detik berikutnya mengalir cerita sejarah hidup Nayla. Hal-hal yang tersembunyi dari mata dan telingaku. Ah,…rahasiNYA memang terlalu sederhana untuk ku terka. Namun keyakinan itu tak bergeser sedikitpun. Andai Nayla yang salah atau menjadi sebab perceraian itu harus terjadi, itu adalah masa lalunya. Sekaranglah bekal untuk menjadi rekan hidupku nanti, meski bisa saja kesalahan itu muncul kembali. Apalah aku, siapalah aku jika berani memplokamirkan diri telah sempurna.

“Jawabanku adalah ketika kamu datang bersama orang tuamu. Pun ketika kamu memilih untuk mundur tersebab kondisi Nayla, saya tidak akan mendendam atau sakit hati. Inilah bagian hidup yang harus ada.” begitu jawaban Bapak Nayla.

Aku mengangguk. Matahari sudah semakin meninggi. Waktu dhuha sudah berakhir. Aku pamit pulang dengan jawaban yang akan ku sampaikan kepada Ibu dua hari lagi. Cuti yang kuambil, semoga cukup untuk menuntaskan teka-teki lajangku. Bukan tergesa hanya mempercepat jawaban, agar hatiku tak kacau dan hidupku normal kembali.

***

Akad pernikahan Burhan akan digelar dua hari lagi. Tetapi pagi ini, aku sudah duduk manis di kamar penuh sejarah. Matahari mulai gagah berjalan. Aku keluar dari kamar, mencari kopi dan perempuan terhebatku.

“Mana jawabanmu?”

“Minum kopi dulu Bu, biar lancar jawabannya.”

Aku mengajak Ibu duduk santai di belakang rumah. Di depan rangkaian tetumbuhan yang jenisnya entah apa saja. Memang tempat ini di desain untuk berbagi kisah dan menenangkan pikiran. Aku harus memilih pagi, agar raut ekspresi Ibu jelas kupahami.

“Namanya Nayla, dia rekan kerjaku. Aku sudah meninta pada Bapak dan Ibunya, jawabannya adalah ketika aku datang sama Bapak dan Ibu ke rumahnya. Nayla janda, Bu!”

Aku berhenti menguraikan. Sampai di situ dulu, aku ingin melihat reaksi Ibu. Tepat. Ibu diam. Matanya berkaca-kaca. Dan meninggalkanku tanpa respon. Apakah ini ending? Aku tidak tahu. Masih ada kesempatan untuk mengurainya. Aku sudah berusaha.


Matahari semakin tinggi dan kopiku sudah tandas dari tadi.


Purwokerto, 06 September 2017

No comments:

Post a Comment