“Kehilangan seseorang yang sempat berarti dalam hidup, aku
pernah. Patah dan sakit yang teramat sangat.”
“ Kehilangan sahabat yang padanya terlimpah kisah, aku
pernah. Rasanya seperti kehilangan arah, bingung dan juga murung.”
“Kehilangan bagian
keluarga yang padanya kasih sayang berlimpah, aku pernah. Kehilangan nenekku.
Sedih dan tentu saja berkurang jumlah orang yang memberiku cinta tanpa pamrih.”
“ Aku telah melewatinya dan masih hidup hingga kini, bukan
memutuskan untuk bunuh diri macam berita-berita di televisi.”
“Lalu, kehilangan mimpi? Aku pernah. Hingga kemudian langkahku
menjadi semakin tidak pasti dan kehilangan diriku sendiri. Jadi, aku yang kau
hadapi saat ini bukan aku yang dulu, bukan pula aku sesungguhnya. Aku adalah
keputusan prematur dengan baju emosi.
Kalau kau melihatku seolah baik-baik saja, maka kau belum mengenalku dengan
baik.”
“Kehilangan kata-kata? Aku sering. Hingga emosi meluap
seperti air bah. Bau, keruh dan bisa mematikan. Hingga otak serasa mati,
lumpuh.”
“Tahukah kau bahwa segala macam kehilangan itu wajar
sekaligus mengancam?”
Kosong.
Kau menatapku lekat, tajam lebih tepatnya. Ekspresi macam
apa sebenarnya yang ingin kau sampaikan, aku benar-benar tak paham. Sama
sepertiku yang tak bisa paham kenapa begitu mudah bercerita kepadamu. Seseorang
yang belum lama membersamaiku dalam hidup.
“Aku harus bagaimana?” akhirnya kau berkata-kata dengan
ekspresi yang belum ku mengerti.
Aku menatapnya lebih dalam. Mencari cahaya di matanya yang
tak lagi bening seperti bayi. Aku mencari kesungguhannya untuk memahamiku atau
setidaknya membantuku menemukan diriku kembali. Aku belum yakin, atau memang
keyakinanku telah melenyap bersama kehilangan-kehilangan.
Aku masih diam. Kau pun sama. Bedanya, ku buang mukaku ke
arah jendela sedang kau menatap lurus cangkir kopi di depanmu.
“Apakah menikah denganku juga keputusan prematur?” dia
kembali bertanya yang topiknya beda dengan pertanyaan sebelumnya.
“Tidak.”
“Aku melihatmu murung tak berkesudahan, bahkan rasa-rasanya
bahagiamu tak singgah setelah bersamaku.”
Aku diam. Hatiku bergejolak. Tak mengerti. Aku bahagia,
tetapi juga marah. Kecewa? Aku memilih melenyapkannya. Takut Tuhanku marah.
“Aku bahagia bersamamu. Kau kan sudah tahu, aku adalah pengingat
paling ulung dan ekspresiku bergantung pada apa yang ku ingat.”
“Aku tak mau berdebat. Apa yang bisa aku lakukan untukmu? Untuk
perjalanan yang masih panjang ini. Aku bukan professor yang tahu segalanya, aku
juga bukan ahli tafsir yang bisa mengerti segala macam kode yang kau berikan.
Aku butuh kepastian dan kejelasan. Apa dan bagaimana. Hingga aku tak salah
hingga akhirnya luka yang kau dapati. Aku benci perceraian. Aku benci
perpisahan. Sesakit apapun aku hidup besamamu, aku aka tetap bertahan. Jadi,
apa? Bisakah kau membantuku untuk membantumu?”
Aku terkejut. Baru kali ini kalimatnya panjang dan menusuk.
Apa betul, aku egois? Hanya peduli pada diriku dan seluruh kehilangan ini.
Hening. Kau mencecap seduhan kopi yang sudah dingin. Aku
mengikutinya.
“Pastikan aku bahagia bersamamu. Bantu aku untuk bangkit dan
tumbuh. Temukan caranya sendiri. Sebab aku tak tahu. Aku tak bisa bangkit
sendiri. Aku butuh kamu. Diamku, karena aku butuh kamu.”
Cengeng. Aku menangis. Ah,…bukan cengeng hanya ada yang baru
saja lepas. Semacam kelegaan tak terdefinisi.
Jangan harap yang terjadi kemudian adalah adegan macam film
india atau drama korea. Kau masih sama, diam di tempatmu dan menatapku dengan
ekspresi yang masih tak bisa ku jelaskan.
“Hujan sudah reda, ayo kita pulang!”
Mungkin waktu dan upaya yang akan menjelaskan apa-apa
dikemudian hari.
Purwokerto, 300817
No comments:
Post a Comment