doc. pribadi |
Aroma kopi di seberang mejaku menawarkan goda yang memikat, hidungku terus saja mengendus, menikmati setiap jengkal kepulan asap yang terus melambung tinggi, sang empu sangat paham dengan diriku yang juga pecinta kopi hitam kental dan tak terlalu manis, apalagi kopi yang diseduh adalah kopi khas daerah tertentu dengan pekat rasanya yang ter tandingi, kerling mata dan sebaris gigi yang tampak semakin kuat merobohkan benteng stop kopi sementara, bisanya, ini sih biasanya, aku langgar sendiri janji serta aturan yang aku buat sendiri, untuk diriku sendiri, tapi kali ini tidak, harusnya demikian.
Melihatku diam tak bersuara apalagi komentar, ia lantas pergi dengan secangkir kopi hitamnya serta rokok dan korek api, jodoh kopi bagi lelaki.
Dunia memang tak sebatas pada kopi dan jodohnya atau temannya atau saudaranya, tetapi bagiku dunia ikut menggelap bersama wafatnya kopi. Sementara demikian. Semoga sementara, harapku demikian. Cahaya kopi akan tergantikan dengan sesuatu yang lebih nyata, lebih peduli dan lebih menghidupkan. Mungkin. Sebab semua masih dalam bayang-bayang. Pikiranku, aku kondisikan untuk tetap pada keyakinan, pada cahaya yang akan dipendrkan lalu aku tangkap dengan kebahagiaan. Hidup memang tanda tanya sampai Tuhan memberikan titahNYA pada para malaikat untuk menjatuhkan vonis tertentu pada manusia yang lebih sering alpha mengingat Tuhannya dibanding jumlah ingat dalam serangakaian kondisinya.
Hening yang aku ciptakan untuk menyatukan yakin dan menghalau puzle keraguan, harus ambyar begitu saja dihantam suara laki-laki yang aku hafal sebab dari awal aku terdampar di kantor ini, dirinyalah yang sering berbaik hati mengantariku setumpuk laporan yang harus diselesaikan dan rincian angka-angka yang harus aku sulap menjadi cerita untung rugi.
"Ra, tumben ngga ngopi?" tanya seseorang yang duduknya di ruang sebelah dan kebetulan masuk ruanganku dan memang butuh denganku.
"Lagi putus, besok kalau udah baikan baru aku ngopi lagi," jawabku. "Ada proyek apalagi? Sampai-sampai kamu ketempatku dengan tangan kosong dan nanyain kopi?"
"Proyek masih tahap analisis di tempat Big Boss, tenang, kalau kamu butuh kerjaan datang aja ke tempatku dan rapiin mejaku, haha, aku butuh laporan detail keuangan proyek gedung Rumah Sakit Cahaya. Referensi proyek yang sama. Dan kamu siap-siap lembur. Ngomong-ngomong kamu putus sam siapa? Kok ngga denger kamu jadian?"
"Putus sama kopi, jadiannya sama kopi dong! File aku kirim ke emailmu saja, aku tidak suka berbagi kesehatan PC dengan flashdisk buluk macam itu."
"Oke, aku tunggu. Jangan lupa jadiannya sama manusia dan laki. Biar hidupku makin berwarna, ngga kayak kopi, hitam terus."
"Ada masanya, Tuhan udah nyiapin semuanya. Aku tak perlu repot dengan gandeng sana sini lalu patah hati. Dan kamu ngga perlu komentar sebelum akhirnya aku baikan lagi sama kopi."
Ia berlalu, dengan senyum dan kata-kata yang aku anggap sebagai angin lalu, seperti waktu yang berganti hitungan laju.
Aku perempuan terlahir bersama kopi, dan akan terus bersama kopi sebelum berita hebat itu datang. Dan entah energi yang dibawa oleh angin apa hingga aku sepakat dengan berita itu. Memutuskan kopi.
"Pria yang kamu ceritakan yang diperkenalkan oleh kakak kelasmu itu, datang kemari bersama keluarganya, memintamu pada bapak, dengan ajakan untuk putus sama kopi, bapak sepakat sebab tak ada cela dalam dirinya yang membahayakan hidupmu, bapak harap kamu juga sepakat. Hanya kopi yang dia keberatan, sebab kopi membuatnya seakan berhenti menghirup udara,"
Aku yang seperti batu, mendadak mengangguk tanda setuju, merimanya dan memutuskan kopi.
Baturraden, 290717
No comments:
Post a Comment