doc.pribadi |
Dunia anak kecil
barangkali adalah dunia yang paling indah. Tanpa beban dan bebas berekspresi.
Mereka tidak akan berpikir akibatnya bakal begini begitu. Sayangnya, dunia ini
tidak abadi. Tumbuh, berkembang dan berganti adalah keniscayaan. Tidak bisa
dihindari, tersebab kehidupan adalah siklus dan perjalanan.
Kemarin sore, pulang
kerja, aku menyengaja langsung duduk di tempat ibu mertua, di sana ada
keponakan dari pihak suami dengan usia empat tahun. Karakter yang dimilikinya
memang unik, cenderung pemalu dan hanya akan akrab dengan orang-orang yang
telah dikenalnya dan dia merasa aman serta nyaman. Mood hatinya sepertinya sedang baik sore kemarin, dimulai dari
bercanda hingga bercakap-cakap yang agak serius. Aku pancing agar ia mau bercerita
tentang sekolahnya yang baru berjalan satu minggu. Tak banyak yang ia
ceritakan. Barangkali, sekolah belum menjadi aktivitas yang menyenangkan
buatnya. Ia akan senang berceloteh
ketika ditanya hal-hal yang membuatnya suka dan berimajinasi. Tentang masa
remaja dan dewasa yang ia dambakan, tentang keinginannya pergi ke tempat-tempat
tertentu, tentang makanan dan mainan yang ia suka dan tentang hello kitty. Dia penyuka
segala hal yang berkaitan dengan hello kitty. Bermain dengan anak-anak memang
menyenangkan. Dunianya adalah dunia tanpa batas.
Ada hal yang menarik dari serangkaian sore kemarin. Oia,
keponakanku tadi adalah pengamat yang jeli. Dia akan mengomentari hal-hal yang
membuatnya bertanya dan menurutnya itu tidak tepat, seperti percakapan di bawah
ini.
”Kok di sini putih, di
situ ngga?” tiba-tiba dia bertanya
kepadaku setelah mengamati wallpaper HP yang aku pegang.
“Karena yang di situ
(wallpaper HP) pakai bedaknya tebal,” jawabku. Foto yang tak pasang di HP
adalah foto saat walimah, sehingga memang terlihat beda dengan keseharianku.
“Ooo,..jadi ini pakai
bedak terus putih? Kenapa sekarang ngga pakai bedak, ngga pakai lipstick? Kan jadinya
putih cantik kalau pakai bedak sama lipstick,” komentarnya meluncur dengan ringannya. Ini
khas anak kecil, dia ngga bakal mikir apakah aku tersinggung, marah dan
sejenisnya. Coba kalau sudah dewasa, mana mungkin akan keluar komentar seperti
itu.
“Karena Tante ngga
suka dandan seperti itu,” jawabku kemudian.
“Kenapa pakai
jilbabnya seperti itu? Ngga pakai yang jarum-jarum itu lho,” lanjutnya. Maksudnya, kenapa aku pakai
jilbabnya tidak seperti para perempuan kekinian yang pakai jilbabnya dengan
berbagai model, dia tidak bisa bertanya dengan kalimat yang detail.
“Kan kerja, kalau ke kondangan baru pake jilbab yang gitu,”
jawabku. Ini bukan jawaban yang tepat sebenarnya. Baru kerasa setelah kalimat
itu selesai. Setiap jawaban yang aku berikan harusnya memberikan pemahaman
bukan pengalihan atau justru membentuk persepsi baru. Makanya jangan heran
kalau dia juga berkomentar tidak jauh dari jawabanku dan tetap kekeh dengan
pendapatnya. Bahwa cantik itu harus, di rumah atau pergi dan terutama kalau
pergi. Cantik itu pakai bedak dan lipstick. Cantik itu putih. Dia melihat, mengamati, berpikir jadilah
pertanyaan, jawaban, sanggahan dan komentar.
Seharusnya aku bisa menjelaskan bagaimana menjadi perempuan yang
sesuai dengan syariat. Ya, meskipun aku masih harus terus memperdalam
pengetahuanku dan mengaplikasikannya dengan benar dalam keseharianku. Aku harus
hati-hati menyampaikan dan menjawab. Jangan sampai jawaban-jawabanku justru
menyinggung perasaan ibunya atau ibu mertuaku. Nah, jelas banget kan bedanya
anak kecil sama orang dewasa.
Mereka anak-anak bisa jujur menyampaikan dan bahkan
menasehati. Sedang orang-orang dewasa berat banget jika harus menyampaikan
kejujuran apalagi terkait dengan penampilan, sifat dan sikap seseorang.
Sebagian dari kita memilih untuk bergunjing membicarakan kejelekannya di
belakang daripada menyampaikan dengan cara yang baik.
Anak-anak bisa dengan mudah memaafkan. Setelah hebat bertengkar hingga babak belur berkelahi, tidak butuh waktu berjam-jam untuk membuat keduanya akur kembali, bermain kembali. Tanpa dendam, tanpa rekayasa. Ah,...terkadang jadi berandai. Seandainya, dunia anak-anak tidak berakhir, atau andai jiwa kita selapang jiwa anak-anak. Tentu akan sedikit sekali perpecahan yang tidak penting.
No comments:
Post a Comment