Friday, July 28, 2017

Andai Dunia Anak-anak Tak Berakhir

doc.pribadi


Dunia anak kecil barangkali adalah dunia yang paling indah. Tanpa beban dan bebas berekspresi. Mereka tidak akan berpikir akibatnya bakal begini begitu. Sayangnya, dunia ini tidak abadi. Tumbuh, berkembang dan berganti adalah keniscayaan. Tidak bisa dihindari, tersebab kehidupan adalah siklus dan perjalanan.

Kemarin sore, pulang kerja, aku menyengaja langsung duduk di tempat ibu mertua, di sana ada keponakan dari pihak suami dengan usia empat tahun. Karakter yang dimilikinya memang unik, cenderung pemalu dan hanya akan akrab dengan orang-orang yang telah dikenalnya dan dia merasa aman serta nyaman. Mood hatinya sepertinya sedang baik sore kemarin, dimulai dari bercanda hingga bercakap-cakap yang agak serius. Aku pancing agar ia mau bercerita tentang sekolahnya yang baru berjalan satu minggu. Tak banyak yang ia ceritakan. Barangkali, sekolah belum menjadi aktivitas yang menyenangkan buatnya.  Ia akan senang berceloteh ketika ditanya hal-hal yang membuatnya suka dan berimajinasi. Tentang masa remaja dan dewasa yang ia dambakan, tentang keinginannya pergi ke tempat-tempat tertentu, tentang makanan dan mainan yang ia suka dan tentang hello kitty. Dia penyuka segala hal yang berkaitan dengan hello kitty. Bermain dengan anak-anak memang menyenangkan. Dunianya adalah dunia tanpa batas.

Ada hal yang menarik dari serangkaian sore kemarin. Oia, keponakanku tadi adalah pengamat yang jeli. Dia akan mengomentari hal-hal yang membuatnya bertanya dan menurutnya itu tidak tepat, seperti percakapan di bawah ini.

Kok di sini putih, di situ ngga?”  tiba-tiba dia bertanya kepadaku setelah mengamati wallpaper HP yang aku pegang.

Karena yang di situ (wallpaper HP) pakai bedaknya tebal,” jawabku. Foto yang tak pasang di HP adalah foto saat walimah, sehingga memang terlihat beda dengan keseharianku.

“Ooo,..jadi ini pakai bedak terus putih? Kenapa sekarang ngga pakai bedak, ngga pakai lipstick? Kan jadinya putih cantik kalau pakai bedak sama lipstick,”  komentarnya meluncur dengan ringannya. Ini khas anak kecil, dia ngga bakal mikir apakah aku tersinggung, marah dan sejenisnya. Coba kalau sudah dewasa, mana mungkin akan keluar komentar seperti itu.

Karena Tante ngga suka dandan seperti itu,” jawabku kemudian. 

Kenapa pakai jilbabnya seperti itu? Ngga pakai yang jarum-jarum itu lho,”  lanjutnya. Maksudnya, kenapa aku pakai jilbabnya tidak seperti para perempuan kekinian yang pakai jilbabnya dengan berbagai model, dia tidak bisa bertanya dengan kalimat yang detail.

Kan kerja, kalau ke  kondangan baru pake jilbab yang gitu,” jawabku. Ini bukan jawaban yang tepat sebenarnya. Baru kerasa setelah kalimat itu selesai. Setiap jawaban yang aku berikan harusnya memberikan pemahaman bukan pengalihan atau justru membentuk persepsi baru. Makanya jangan heran kalau dia juga berkomentar tidak jauh dari jawabanku dan tetap kekeh dengan pendapatnya. Bahwa cantik itu harus, di rumah atau pergi dan terutama kalau pergi. Cantik itu pakai bedak dan lipstick. Cantik itu putih.  Dia melihat, mengamati, berpikir jadilah pertanyaan, jawaban, sanggahan dan komentar.

Seharusnya aku bisa menjelaskan bagaimana menjadi perempuan yang sesuai dengan syariat. Ya, meskipun aku masih harus terus memperdalam pengetahuanku dan mengaplikasikannya dengan benar dalam keseharianku. Aku harus hati-hati menyampaikan dan menjawab. Jangan sampai jawaban-jawabanku justru menyinggung perasaan ibunya atau ibu mertuaku. Nah, jelas banget kan bedanya anak kecil sama orang dewasa.

Mereka anak-anak bisa jujur menyampaikan dan bahkan menasehati. Sedang orang-orang dewasa berat banget jika harus menyampaikan kejujuran apalagi terkait dengan penampilan, sifat dan sikap seseorang. Sebagian dari kita memilih untuk bergunjing membicarakan kejelekannya di belakang daripada menyampaikan dengan cara yang baik. 

Anak-anak bisa dengan mudah memaafkan. Setelah hebat bertengkar hingga babak belur berkelahi, tidak butuh waktu berjam-jam untuk membuat keduanya akur kembali, bermain kembali. Tanpa dendam, tanpa rekayasa. Ah,...terkadang jadi berandai. Seandainya, dunia anak-anak tidak berakhir, atau andai jiwa kita selapang jiwa anak-anak. Tentu akan sedikit sekali perpecahan yang tidak penting.


Bojongsari, 280717


No comments:

Post a Comment