Menikah. Tidak sesederhana huruf-huruf yang membentuknya dan mengucapkannya. Komplek. Ada banyak hal yang harus diperhatikan dan diperjuangkan dalam perjalnannya. Nyatanya pahala menikah memang tidak main-main, menggenapkan separuh agama. Ingat ini, maka apapun yang dihadapi ketika menjalani sebuah pernikahan niscaya hati menjadi lapang, selapang-lapangnya.
Dulu, sewaktu masih sendiri, membayangkan pernikahan
tidaklah sekomplek ini. Memang, dulu ketika masih sendiri ada banyak
kekhawatiran dan ketakutan kalau-kalau begini, begitu, dengan melihat fenomena
saat ini. Namun setelah menikah, justru hal lain yang dihadapi.
Aku menikah termasuk dalam kategori yang lambat. Baru
menikah dipenghujung umurku yang ke-28. Harusnya, dilihat dari usia sudah cukup
matang atau bahkan tua. Namun ternyata, aku masih harus menempa diri lebih kuat
lagi agar dapat terus menghiasi pernikahanku dengan wewangi, setidaknya tercium
wangi.
Romantis. Biasanya ini yang dibayangkan oleh para perempuan
sebelum menikah, apalagi oleh perempuan pecinta drama Korea. Dalam benak perempuan,
seorang laki-laki itu adalah seseorang rajin memberi hadiah dan kejutan, seikat
mawar merah, sebatang cokelat, bertabur puisi rindu dan berhias kata-kata cinta
(hahaha). Mimpi. Meskipun ada sebagian laki-laki yang demikian, bahkan
Rosulalloh pun adalah laki-laki yang romantis dan penyayang terhadap
istri-istrinya. Namun, kenyataannya lebih banyak laki-laki dengan tipe standar.
Menikah adalah zona aman baginya, tak perlu lagi menunjukkan apa itu perhatian,
apa itu sayang, apa itu cinta. Menikahi berarti mencintai, menyayangi dan
memperhatikan. Ini yang kadang menggoda perempuan untuk protes, marah dan bisa
jadi menyesal lalu terjadilah hal-hal yang tidak baik.
Kembali lagi, menikah bukan hanya tentang ungkapan-ungkapan
cinta dan romantisme. Meski ini penting untuk tetap membuat pernikahan yang
sudah berusia menjadi berasa baru kembali. Bagiku, romantisme itu bisa dilihat
dari berbagai sudut pandang dan cara menyikapinya. Misalnya, suami mau ikut
bantu di dapur atau hanya sekedar menemani, itu sudah romantis. Ketika
pagi-pagi dibuatkan teh oleh suami itu juga sudah romantis. Bukan karena aku
tidak suka hadiah, bunga, atau puisi cinta tetapi suami bukan tipe demikian
sepertinya. Romantis itu adalah ketika sedikit saja suami bisa memahami apa
yang kita mau tanpa harus diminta. Tidak perlu banyak jika mampunya dia hanya
sedikit. Lihat diri kita pribadi, sudah sebaik apa menjadi istri, sudah sepaham
apa terhadap suami. Jadilah perempuan yang mampu menakar kualitas diri sebelum
meminta lebih kepada suami. Bukankah ketulusan pemberian akan berimbas pada
ketulusan penerimaan?
Pernikahan kita adalah dunia kita bukan dia atau mereka.
Yang tahu dan paham adalah kita masing-masing. So, jangan gampang baper dan
silau dengan pernikahan orang lain. Dan jangan pula gampang marah kalau ada
yang komentar negatif tentang pernikahan kita, jadikan itu sebagai instropeksi
dan motivasi untuk lebih baik. Alloh memberikan episode yang berbeda-beda
terhadap pernikahan satu dengan yang lainnya adalah agar kita mampu bersyukur
dan mengambil pelajaran.
Aku menuliskan ini untuk menjadikannya pengingat bahwa
keputusan menikah bukan keputusan sepele. Pertanggungjawabannya dunia akhirat.
Apapun, bagaimanapun harus tetap lurus menatap masa depan. Berjuang dan berupaya
sebaik-baiknya. Menghiasinya dengan tawakal dan berdo’a. DIA yang Maha Tahu
atas segala yang baik, untukku dan keluargaku.
Bojongsari, 14 : 47 14072017
No comments:
Post a Comment