Friday, July 14, 2017

Menikah




Menikah. Tidak sesederhana huruf-huruf yang membentuknya dan mengucapkannya. Komplek. Ada banyak hal yang harus diperhatikan dan diperjuangkan dalam perjalnannya. Nyatanya pahala menikah memang tidak main-main, menggenapkan separuh agama. Ingat ini, maka apapun yang dihadapi ketika menjalani sebuah pernikahan niscaya hati menjadi lapang, selapang-lapangnya.
Dulu, sewaktu masih sendiri, membayangkan pernikahan tidaklah sekomplek ini. Memang, dulu ketika masih sendiri ada banyak kekhawatiran dan ketakutan kalau-kalau begini, begitu, dengan melihat fenomena saat ini. Namun setelah menikah, justru hal lain yang dihadapi.
Aku menikah termasuk dalam kategori yang lambat. Baru menikah dipenghujung umurku yang ke-28. Harusnya, dilihat dari usia sudah cukup matang atau bahkan tua. Namun ternyata, aku masih harus menempa diri lebih kuat lagi agar dapat terus menghiasi pernikahanku dengan wewangi, setidaknya tercium wangi.

Romantis. Biasanya ini yang dibayangkan oleh para perempuan sebelum menikah, apalagi oleh perempuan pecinta drama Korea. Dalam benak perempuan, seorang laki-laki itu adalah seseorang rajin memberi hadiah dan kejutan, seikat mawar merah, sebatang cokelat, bertabur puisi rindu dan berhias kata-kata cinta (hahaha). Mimpi. Meskipun ada sebagian laki-laki yang demikian, bahkan Rosulalloh pun adalah laki-laki yang romantis dan penyayang terhadap istri-istrinya. Namun, kenyataannya lebih banyak laki-laki dengan tipe standar. Menikah adalah zona aman baginya, tak perlu lagi menunjukkan apa itu perhatian, apa itu sayang, apa itu cinta. Menikahi berarti mencintai, menyayangi dan memperhatikan. Ini yang kadang menggoda perempuan untuk protes, marah dan bisa jadi menyesal lalu terjadilah hal-hal yang tidak baik.

Kembali lagi, menikah bukan hanya tentang ungkapan-ungkapan cinta dan romantisme. Meski ini penting untuk tetap membuat pernikahan yang sudah berusia menjadi berasa baru kembali. Bagiku, romantisme itu bisa dilihat dari berbagai sudut pandang dan cara menyikapinya. Misalnya, suami mau ikut bantu di dapur atau hanya sekedar menemani, itu sudah romantis. Ketika pagi-pagi dibuatkan teh oleh suami itu juga sudah romantis. Bukan karena aku tidak suka hadiah, bunga, atau puisi cinta tetapi suami bukan tipe demikian sepertinya. Romantis itu adalah ketika sedikit saja suami bisa memahami apa yang kita mau tanpa harus diminta. Tidak perlu banyak jika mampunya dia hanya sedikit. Lihat diri kita pribadi, sudah sebaik apa menjadi istri, sudah sepaham apa terhadap suami. Jadilah perempuan yang mampu menakar kualitas diri sebelum meminta lebih kepada suami. Bukankah ketulusan pemberian akan berimbas pada ketulusan penerimaan?

Pernikahan kita adalah dunia kita bukan dia atau mereka. Yang tahu dan paham adalah kita masing-masing. So, jangan gampang baper dan silau dengan pernikahan orang lain. Dan jangan pula gampang marah kalau ada yang komentar negatif tentang pernikahan kita, jadikan itu sebagai instropeksi dan motivasi untuk lebih baik. Alloh memberikan episode yang berbeda-beda terhadap pernikahan satu dengan yang lainnya adalah agar kita mampu bersyukur dan mengambil pelajaran.

Aku menuliskan ini untuk menjadikannya pengingat bahwa keputusan menikah bukan keputusan sepele. Pertanggungjawabannya dunia akhirat. Apapun, bagaimanapun harus tetap lurus menatap masa depan. Berjuang dan berupaya sebaik-baiknya. Menghiasinya dengan tawakal dan berdo’a. DIA yang Maha Tahu atas segala yang baik, untukku dan keluargaku.


Bojongsari, 14 : 47 14072017

No comments:

Post a Comment