Masih sama. Diam. Berkali-kali mataku melirik jam dinding di depan sana. Benar-benar tersiksa. Ku kira sudah bergerak puluhan menit ternyata baru beberapa menit saja. Bingung.
"Wah pilkada DKI bakal dua putaran tuh," suara bapak-bapak di belakangku.
"Itu sudah pasti, coba Ahok ngga nyeplos yang berujung kasus, udah psti dia yang menang," sahut yang lain.
"Sayang banget ya, Agus habis ini ngga punya karir. Padahal dia cerdas lho, karirnya bagus, bahkan dia bisa jadi jenderal," komentar bapak-bapak yang duduk di seberangku.
"Udahlah mbah, kita ngga tahu menahu tentang politik. Biar saja to, lha wong itu pilihan Agus kok. Otak kita itu tidak bakal sampai ke sana. Politik itu ribet penuh tak tik. Kalau kita ini tahunya ya tentang benih yang bisa lulus sertifikat terus kita bisa nyusun angka kredit, naik pangkatlah kita," sanggah laki-laki yang duduk paling ujung. Laki-laki dengan banyak komentar sepanjang aku duduk di sini beberapa hari yang lalu.
"Naik pangkat saja susah, KTI ditolak terus," sahut bapak-bapak yang duduk di belakangku, yang kemudian ku tahu namanya Rohmat.
"Antasari malah sibuk buka rahasia menjelang pilkada, Presiden kita juga aneh, ngasih grasi jelang pilkada kenapa ngga dari dulu," komentar perempuan berjilbab yang biasanya asyik dengan kertas dan komputer.
"Eh, ada yang ngomong," dan semuanya langsung tertawa, kecuali aku. Mana mungkin ikut tertawa apalagi komentar, padahal pengen banget komentar. Emang si, ngga bakal ngaruh pada hasil pilkada, disamping pilkada sudah berlalu, kami juga tidak ikut menentukan pilihan.
"Sudah ku bilang ya, urusan politik itu ribet."
"Politik itu tak hanya soal pilkada lho pak, penentuan siapa kepala dinas ini juga bagian dari politik," kata mbak berjilbab tadi.
Dan ruangan kembali lengang. Tak ada lagi yang menyahut. Semua kembali pada kesibukan masing-masing. Aku masih sama, sibuk buka whatsapp, bbm, instagram dan lainnya. Dan sibuk menghitung mundur detik waktu menuju jam pulang. Aku bisa saja tanya, apa yang harus ku kerjakan dan barangkali ada yang bisa dikerjakan untuk membunuh waktu yang bergerak seperti siput. Anehnya, aku memilih diam. Menanti perintah, arahan dan ajakan salah satu dari mereka. Dan hingga detik ini, kondisinya masih sama dengan kali pertama masuk ruangan ini.
Jam istirahat tiba. Waktu yang aku nanti betul. Bisa terbebas sejenak dengan kekakuan ini. Ahhh,....roda benar-benar telah bergerak sedemikian jauhnya. Barangkali ini cara Alloh untuk memberiku ruang untuk santai sejenak. Kalau kemarin-kemarin hampir selalu pulang melebihi jam kerja bahkan hingga malam hampir berganti, kini pulang tepat waktu dan otakku hibernasi. Lelah justru lebih mendera. Otakku serasa mati. Semangatku jelas merosot tajam. Membayangkan ke depan seperti apa, seakan ingin lari sejauh-jauhnya. Namun itu mustahil dilakukan.
Kantin ramai dihuni manusia-manusia pencari isi perut atau sekedar melarikan diri dari sekat-sekat ruang.
"Kopi atau susu cokelat mba?" tanya mba kantin melihatku mendekat.
"Kopi mba, biasa dan jangan ditambah gula."
"Ngga makan?"
"Nanti aja deh, kopi aja dulu."
Kantin adalah tempat paling bersahabat setelah mushola. Di sana bebas berekspresi. Andai mba-mba kantin jahat, mungkin dia sudah membeberkan rahasia dari orang ke orang. Padahal di sinilah segala rupa cacian dan pujian bergulir.
"Ini mba kopinya, sendirian aja?"
"Makasih mba, iya masih absen dulu sama yang buat hidup. Aku lagi libur. Sekalian makan deh mba, mie telor pedes seperti biasa."
"Oke."
Kombinasi makan siang yang jauh dari kata sehat. Namun mau bagaimana lagi, bagiku hanya itu kombinasi yang paling pas di sini. Kantin semakin ramai. Datang dan pergi. Kanan kiriku sibuk ngobrol dengan berbagai tema dan aku memilih abai.
"Rin, abis jam istirahat kamu disuruh ngadep bagian Tata Usaha," ucap Rena mengagetkanku.
"Cuman aku?" tanyaku.
"Iya, kita udah tadi. Siap-siap aja Rin!"
"Emang kenapa? Bukan perpanjangan magang kan?"
"Ntar kamu juga tahu."
Mereka pergi meninggalkanku dengan tanya. Jam istirahat tinggal 10 menit lagi. Rasanya baru sekian menit duduk di kantin ini. Ah,...waktu memang relativitas.
"Bagaimana mba Erina, kerasan di sini?"
"Kalau saya bilang ngga kerasan, bisa memperpendek waktu magang ngga pak?" jawabku asal. Beliau tersenyum dan tentu saja penuh arti. Aku sudah tidak peduli dengan penilaian orang. Keinginanku cuman satu, masa ini segera usai.
"Kerasan atau tidak waktu magang menjadi berkurang mba," beliau menatapku tajam. Aku masih diam tidak menanggapi.
"Ngga percaya? Ini, ada panggilan diklat mulai minggu depan dan selesainya tepat hingga jatah magang selesai," beliau memberikan surat tugas kepadaku. Memang benar tanggal yang tertera seperti yang disampaikan olehnya. Ingin rasanya bersorak. Ah,...bahagia banget rasanya.
"Persiapkan dengan baik persyaratannya. Setelah diklat langsung kembali lagi ke sini. Laporan lisan dan tertulis mengenai hasil diklat dan sekaligus penerimaan surat tugas penempatan."
"Baik pak. Terimakasih."
***
*setelah sekian lama tidak menulis.
No comments:
Post a Comment