Terkadang kita tahu tapi tak mau tahu. Terkadang kita mengerti tapi tak memahami dan terkadang kita berjanji tetapi mengingkari. Memang lidah tidak bertulang, mudah untuk berbelok dan kemudian berbalik. Semau hati, semau sendiri. Kita tentu sudah akrab dengan kalimat bahwa kepribadian seseorang bisa dilihat bagaimana ia setia pada ucapannya, pada janji yang telah dilahirkannya serta komitmen untuk mewujudkannya.
Setiap kita bisa jadi pernah mengingkari janjinya, atau pernah dikecewakan atas sesuatu yang dijanjikan kepada kita. Keduanya akan melahirkan akibat. Bisa saja menumbuhkan keegoisan dan mengembangkan kemunafikan. Bisa saja menumbuhkan kedewasaan dan mengembangkan kesabaran. Semua bergantung pada seberapa kuat hati menerima, seberapa ingin hati menyadari kesalahannya.
Soal ingkar janji adalah soal memaafkan dan kepercayaan. Memaafkan adalah kewajiban sebab khilaf dan salah adalah bagian dari manusia itu sendiri, tetapi percaya adalah soal sejarah. Boleh sepakat boleh tidak. Kepercayaan bergantung dari seberapa baik sejarah yang telah terangkum. Seberapa banyak ingkar yang telah dibuatnya.
Kenyataan memang tak selalu sama dengan harap apalagi ingin yang sering menghampiri. Ada banyak kemungkinan diantara episode yang telah diskenariokan, sebab Tuhan punya hak penuh atas segala episode setiap manusia. Namun, seberapa besar usaha yang diupayakan itulah hakikatnya. Bukankah hasil tak pernah mengkhiati usaha? Dan hasil bukan hanya yang tampak, tetapi kadang bersifat abstrak dan bisa jadi baru bertahun-tahun kemudian dirasakan.
Kalau hari ini kecewa oleh sebab janji yang teringkari. Maafkanlah dengan sebaik-baik maaf, terimalah dengan sebaik-baik penerimaan. Sebab, dengan demikian kita belajar untuk tidak berbuat yang sama. Kita belajar untuk menahan diri dari amarah, belajar untuk sabar dan menambah keyakinan bahwa Alloh lah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
Meja makan, 241016
No comments:
Post a Comment