Monday, September 5, 2016

Terimakasih, Ta!


"Ta, aku lagi di kafe biasa, tempat kita menghabiskan senja bersama racikan kopi. Aku sendiri Ta, tanpa kamu. Aku tetap memesan satu cangkir machiato panas kesukaanmu dan segelas es capucino kesukaanku," bisikku pada bayu yang baru saja menyapaku. Seharusnya hujan lebih banyak datang, namun musim sudah berubah-ubah. Seperti rasa manusia, berubah tanpa perputaran waktu yang pasti.

Jarak, waktu dan kesibukan adalah ramuan alasan yang paling tepat untuk sebuah jeda. Aku kehilangan. Bukan hanya pada pertemuan yang semakin jarang, bahkan sangat sulit untuk diupayakan, tetapi pada diskusi kita yang sudah tidak lagi ada. Barangkali aku yang harus mengoreksi diri, bisa jadi karena egoisku yang mendominasi hingga kamu bosan. Atau keras kepalaku yang membuatmu jengah, atau aku yang semakin jauh dariNYA yang membuatmu kecewa, atau memang ada batas yang harus dibentangkan. Atau aku telah melukaimu hingga pergi adalah pilihan yang tepat. Aku tak mau berprasangka, sebab hanya akan mempertajam luka. Aku berusaha sekuat yang aku bisa menepisnya, sebab tak ingin kuhadirkan benci untukmu.

Kata Panji Ramdana "Cintailah Sewajarnya" , harusnya memang demikian. Agar ketika harus ditinggalkan lukanya tak sedemikian rupa. Agar ketika arah mata angin berubah, tidak gila dibuatnya.

"Ingat ya Ta, aku akan mengikuti apa yang orang perbuat ke aku. Aku hanya akan memberikan feedback. Kalau kelak kamu jarang menghubungiku, aku akan mengikuti. Mungkin bagimu balesan WA, BBM atau SMS tidak penting, tetapi bagiku sangat penting. Sebab, itu sebagai tanda seseorang masih inget sama aku," ucapku sebelum duniaku berganti.

"Tapi, kamu sama Kirana beda tuh! Kalian tetep bisa komunikasi, meski kadang pesanmu ngga dibales," bantahmu.

"Kirana lebih sering menghubungiku lebih dulu, dia juga lebih sering telepon ketimbang aku. Dan dia selalu menjelaskan ketika dia tak sempat membalas pesanku. Dia telpon balik kalau tidak sempat menjawab telponku,"

"Baiklah, aku akan berusaha menjadi sahabat yang baik untukmu. Akan ku upayakan selalu ada kabar dariku,"

Senyum mengembang, aku yakin waktu dan jarak yang kemudian membentang menjadi pemisah tidak akan pernah menggeser apapun. Namun, aku lupa bahwa angin bisa saja bergerak dari arah yang berbeda.

Hanya pemberian terbaik yang akan menghasilkan penerimaan terbaik. Bisa jadi aku memang terlalu menuntut, bisa jadi aku memang belum memberikan yang terbaik. Dan yang paling pasti ini adalah ujian bagiku.

Senja mulai habis, turun, berganti pekat yang terus meninggi. Maghrib hadir dengan lantunan adzan yang merdu. Dispensasi yang Alloh kasih, membuatku masih tetap duduk di sini. Ku lantunkan dedo'a, semoga Alloh mendengarnya. 

Aku masih punya waktu hingga dua jam kedepan. Biar saja, kunikmati seluruh kenangan yang ku miliki. Silih berganti slide masa lalu berjalan. Semoga Alloh masih berkenan memberiku kesempatan. Kesempatan menjadi baik yang seutuhnya.

"Aku rindu kamu,Ta!" tulisku di sketbook. Aku benar-benar rindu, rindu pada diskusi panjang bersamamu. Aku benar-benar merasa sendiri. Dan kamu, entah di mana. Kamu sibuk, aku tahu. Mungkin memang ada yang lebih penting, lebih mendatangkan kebaikan dibanding menghabiskan senja dan racikan kopi bersamaku.
 
Telah ku titipkan sebagian kisahku padamu. Dan kalau episodenya harus berakhir, semoga tidak ada jejak benci dan kemarahan.

"Terimakasih Ta, pernah membuatku berarti. Menerima segala kurangku dan menemani hariku. Setelah ini  bisa jadi pesanku akan semakin jarang dan aku akan berupaya sekeras untuk tidak meminta waktumu. Maaf, aku tak bisa sepertimu. Aku tak sebaik yang kamu kira," ku titipkan pesan ini pada langit. Biarkan para malaikat yang menyampaikan padamu. 

Minumku sudah tandas dari tadi dan minummu masih utuh. Sengaja tak ku minum, karena memang bukan jatahku. Karena kamu tak ada, berarti itu jatah orang lain.

Senja pun sudah habis dari tadi dan malam memang telah memasuki zonanya. Travel yang menjemputku masih satu jam lagi. Aku lanjutkan sketsaku. Satu persatu ku lepas ingin, harap, kecewa, marah yang terkadang hadir merayu hingga rasa sakit yang selanjutnya menggantikan. Semoga dengan demikian, ikhlas akan mendominasi bait-bait puisi hidupku selanjutnya.

Semoga menunggu pesanmu, sudah tidak ku lakukan lagi, agar aku bisa ikhlas melepasmu. Agar semuanya berjalan dengan ringan. Katamu, tak melulu kasih sayang ditunjukkan dengan perhatian dan pertemuan melainkan pada do'a panjang. Baiklah, ku ikuti saranmu, ucapanmu. Jika doa bertaut mungkin perasaan sentimentil macam udang rebus ini tidak pernah ada. Mungkin tak ada rindu yang sedemikian hebat hingga sesak. 

Malang, 05092017

No comments:

Post a Comment