Suara ruang sebelah masih terdengar saling menyahut, meski tak jelas apa yang mereka diskusikan. Sesekali renyah tawa menyela. Berbeda dengan ruangan yang sedang aku huni ini. Sepi. Hanya suara detik jam dinding bergambar tim sepak bola Chelsea yang masih mendominasi. Sengaja aku tak memutar musik, agar aku benar-benar bisa menikmati sunyi. Mengembara bersama imaji, berharap menemukan sederet jawab yang ku ingini.
Suara di ruang sebelah sudah lenyap. Tak ada lagi bebunyian kecuali detik jam, yang mendadak lebih nyaring dari sebelumnya. Aku masih duduk di ujung tempat tidur dan bersandar pada dinding. Tanganku masih sibuk bermain rubrik yang belum juga berhasil menyusun dengan warna yang senada pada sisi-sisinya. Aku pikir mungkin ini pekerjaan ringan tetapi butuh strategi besar. Bisa jadi jawaban atas kekacauan pikirku tak serumit bayanganku. Apakah ini analogi yang tepat? Entahlah.
Tanganku terhenti ketika otakku sibuk mencari analogi. Mataku kemudian berkelana menyusuri sudut dan titik pada ruangan ini. Mengingat kembali sejarah barang-barang yang menghiasi ruang ini. Ada yang berasal dari pemberian, uang tabungan, ada juga hadiah menang kuis. Aku tersenyum sendiri, mengingat detailnya membawaku pada lorong-lorong kenangan.
Apa yang terjadi denganku kemudian? Buku diary bergambar menara eifel dengan latar belakang senja telah berpindah posisi. Merayu mata dan tanganku untuk membukanya. Detik berikutnya tanganku mulai sibuk membuka lembar demi lembar. Menelantarkan rubrik yang sebelumnya ku tekuni. Mengeja kalimat yang tertulis di sana. Ekspresiku berubah-ubah, andai ada yang melihat. Ada banyak episode yang telah terlewati.
Aku berhenti pada lembar dengan tulisan warna biru dan bukan tulisan tanganku. Itu tulisan Nei yang ia sisipkan sebelum pamit untuk melanjutkan hidup di kota lain. Sengaja aku tempel. Tanganku tergerak untuk menyentuhnya. Mulutku terus mengeja kalimat yang tertulis,
"Jangan mengkhawatirkan yang belum terjadi, jangan terlalu sibuk dengan kegagalan yang telah lalu. Sibuklah dengan urusan yang akan membawa dampak kebaikan yang lebih besar. Aku yang paling percaya kalau kamu bisa melewati semuanya."
Bukan jawaban, melainkan rentetan pertanyaan berlanjut. Kalau ada orang lain yang sepercaya itu padaku, kenapa aku justru ragu?
Aku melanjutkan lembar berikutnya, menepis pertanyaan yang terus berkelebat mengganggu.
22 Oktober 2015
Ry, kamu tahu kan Aira? Sahabat kecilku. Ia berhasil tembus beasiswa di Jepang. Padahal aku dan dia punya mimpi yang sama. Tapi dia duluan yang bia terbang ke sana. Apakah aku harus sedih? Kayaknya ngga deh. Aku bangga sama dia. Setidaknya aku bisa dapet foto asli negeri matahari terbit yang asli bukan dari internet.
Aku tersenyum. "Apa kabarmu, Aira?" bisikku. Mataku beralih ke dinding, menatap foto Aira di depan Tokyo University, foto yang ia kirimkan setelah satu bulan ia berada di sana. Aku masih ingat sebaris kalimat yang ia tulis di belakang foto itu "Aku menunggumu di sini, Win".
30 November 2015
Ry, tulisanku masuk nominasi 10 besar. Alhamdulillah, semoga bisa lolos 3 besar.
5 Desember 2015
Ry, aku pusing, bingung.
15 Desember 2015
Ry, tulisanku ngga lolos tiga besar. Keep writing!
Aku masih terus membaca catatan. Ada rentetan peristiwa yang aku masih bisa merasakan kebahagiaan sekaligus kabutnya. Ada juga yang sudah terlupa.
Sunyi semakin menjiwai. aku masih sibuk dengan rangkaian kalimat tanya. Menerka jawab lalu menganalisisnya. Betapa segala yang sulit akan menuai muaranya, yang masih berat akan kembali menguji. Ujungnya adalah penerimaan. Seberapa lapang dada ini menampungnya. Diam hanya akan memperparah bukan menyembuhkan.
Suara getar ponselku mengacau proses menemukan jawaban ini. Surat elektronik dari Raini. Perempuan dengan tangguh sekaligus pemberani dalam mengambil keputusan. Baginya semakin cepat mengambil keputusan semakin cepat pula ditemukan solusi. Selalu riang meski beban di pundaknya tidak ringan.
Hai Win,
Aku kangen kamu! Kamu sudah tidur ya? Insomniaku kambuh, tiba-tiba inget kamu. Mau telpon takut ganggu. Aku butuh cerita. Sory ya! Aku cerita di sini saja. Kalau sempet bales, eh harus dong! hahahahaa kalau ngga maksa bukan aku kan?
............................................................................................................................................................
............................................................................................................................................................
Blogmu sepi, kapan nulis lagi? Lagi sibuk? Kamu masih hidup kan? hahaha mulai ngaco. Aku tunggu balasennya ya!
Your Sister
Raini
Aku terdiam sejenak. Membaca ulang email dari Raini. Membuka lagi diaryku. Membaca ulang sekilas. Hatiku kembali berkata, "kalau ada banyak orang yang masih mempercayaiku, kenapa masih terus berdiam diri?".
Jawabannya adalah diriku sendiri, bukan orang lain. Jawabannya adalah pada terus melangkah bukan berhenti. Bukankah semuanya akan bermuara?
Purwokerto, 12062016
No comments:
Post a Comment