Friday, February 5, 2016

Dua Lelaki


Sumber: www.dakwatuna.com


Lelah mengembara di lorong-lorong sunyi hatinya. Diam adalah caranya memeberikan jeda pada dunianya yang tak lagi sama. Lelaki dengan kopyah putih kumal mendekatinya, menepuk bahunya. Kepalanya mendongak, seulas senyum pahit tersungging sebagai respon. Matanya sayu menatap laki-laki di depannya. Tak bersuara. Kepalanya kembali menunduk. Matanya lurus menatap tanah yang ia pijak.
"Sudah adzan maghrib, lekas beranjak!"
Ia hanya mengangguk, tidak menjawab, lalu bangkit menuju belakang rumah. Menimba air, menuangkannya dalam ember bekas cat yang telah dilubangi kemudian mengalirkannya untuk wudhu. Dingin air tanah pegunungan menelusup ke dalam pori-pori kulitnya. Ada binar yang sedikit lebih hidup setelah selesai wudhu. Ia bergegas menyusul lelaki berkopyah kumal menuju mushola ujung desa. Masih dengan diam, langkahnya dipercepat. Meski hatinya sedang tidak bersahabat, namun menjadi makmum masbuk jelas bukan pilihan.
***
Dingin. Angin pegunungan yang riuh menerpa apa saja tak ia hiraukan. Ia masih duduk termangu di beranda rumah. Sendiri. Menatap langit lepas. Menghitung bintang yang masih bisa ia tangkap dengan matanya. Tubuhnya ia bungkus dengan sarung tipis kesayangannya. Akhir-akhir ini ia seperti menjelma menjadi orang lain. Wajahnya yang periang hilang begitu saja. Geraknya yang selalu bersemangat pun turut memudar.
Lelaki berkopyah kumal keluar rumah. Mendekati anak lelaki satu-satunya. Ia mengambil nafas panjang. Mengusap-usap kepala anaknya yang terus menatap langit dengan bisu.
"Apakah ikhlas itu punya pilihan?" tanya lelaki berkopyah putih kumal kepada anaknya.
Anak lelakinya masih diam.
"Kenyataan memang seringnya menyakitkan. Melumpuhkan kekuatan tiba-tiba."
"Apakah ikhlas itu punya pilihan?" tanya lelaki berkopyah putih kumal itu sekali lagi.
"Bapak punya jawaban sendiri kan?" akhirnya anak itu berbicara. Senyum lelaki itu mengembang.
"Jawaban bapak bisa jadi berbeda denganmu,"
"Ikhlas tidak punya pilihan sebagaimana sabar yang tidak ada batasnya."
"Sepakat! Lalu kenapa mendung masih terus menaungi wajahmu?"
"Hatiku butuh waktu untuk kembali normal, pak! Kegagalan ini membuatku semakin bersalah. Merasa belum bisa menjadi anak lelaki kebanggaan ibu. Aku khawatir ibu kecewa di alam sana."
"Lelaki memang butuh waktu untuk berpikir, merenung, menimbang, memutuskan dan bertindak. Namun jika terus berlarut kapan akan beranjak?"
Anak lelaki itu kembali terdiam.
"Bapak lebih senang kamu tidak jadi pergi, namun jika setiap hari bertemu dengan wajah mendung, bapak lebih rela engkau kembali mengejar mimpi."
Anak lelaki itu tak menjawab. Keinginan untuk sekolah di kota terlalu kuat mengikat hatinya. Kegagalannya adalah bagai tumbuhan layu, enggan untuk hidup.
Lelaki berkopyah putih kumal itu masuk ke rumahnya kembali. Meninggalkan anak lelakinya yang masih diliput mendung. Ia terus berharap keceriaan dan semangatnya kembali menghiasi anak lelakinya. Meski kemungkinan ia harus melepas anak lelakinya pergi mengejar mimpi sebagaimana harapan mendiang istrinya.
Kedu, 05022016
#OneDayOnePost #FebruariMembara_4

No comments:

Post a Comment