doc.pribadi |
“Sholat itu menjadi indikator
seberapa baiknya diri kita. Bagaimana bisa? Ya bisa, kalau antara waktu sholat yang
satu dengan selanjutnya masih ada kemaksiatan maka itu salah satu pertanda
sholat kita belum benar atau tidak diterima oleh Alloh.”
Begitulah serangkaian kalimat dari salah seorang ustadz yang
aku dengar dari rekaman tausiyahnya di netbookku.
Rangkaian kalimat yang mampu membuatku malu, ngilu, sekaligus sesak. Ketakutan
pun berbondong-bondong menghuni hati. Terbayang kemaksiatan-kemaksiatan
memberondongku lalu menghanguskanku kelak. Sholat yang aku kerjakan belum mampu
mencegah keburukanku seutuhnya. Riak kemaksiatan masih terus saja mengiringi.
Terkadang hati membenarkan mencari alasan, namun sungguh syariatNYA jelas,
tidak ada yang abu-abu.
Dua puluh tujuh tahun berlalu, ini adalah tahun ke dua puluh
delapan aku masih diberi kesempatan untuk terus hidup. Mencari penghidupan dan
berusaha menebar kebaikan sebisa mungkin. Delapan bulan telah berlalu, aku
melewati perjalanan baru di tengah kota tempat aku memperoleh gelar
kesarjanaanku. Ini bulan ke Sembilan, sebentar lagi lahiran. Waktu yang cukup
untuk belajar mengenali, memahami dan mengambil sikap. Pertanyaannya, sudah
sejauh mana aku mampu memberikan sedikit warna kebaikan itu, atau seberapa jauh
diri ini menjadi terwarnai? Perlahan tapi pasti lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan
mempengaruhi kualitas diri dari segi manapun. Lingkungan baru menjadi uji kelayakan
atas kualitas diri. Mampu meningkatkan, bertahan atau justru menurun? Semua
bergantung pada diri kita masing-masing. Hidup sendiri benar-benar menguji.
Hati memang tidak pernah berdusta, ia akan terus berusaha
menceritakan secara jujur, kemudian bergantung sisi logika kita mau menerima
atau menolaknya. Aku merasa semakin jauh dariNYA. Aku merasakan banyak
penurunan. Banyak noda hitam yang aku kumpulkan. Inilah sepertinya penyebab
kegelisahan-kegelisahan yang mengganggu. Setiap kali teringat tausiyah ustadz
itu, ingin rasanya pergi. Bersimpuh menghadapMU, agar ketenangan terus
menyelusup mendamaikan hati.
“Kalau belum bisa
menjadi hamba yang dekat denganNYA dengan kebaikan yang terus tampil menjadi
penjelmaannya, maka jadilah hamba yang merasa berdosa dan terus beristighfar yang
diiringi bertobat.”
Mungkin sebaris kalimat itu mampu sejenak menenangkan
ketakutan hati, setidaknya selalu ada pintu maaf dariNYA. Terus melangitkan do’a
dan memohon ampun atas segala khilaf dan mencoba memperbaikinya adalah cara
yang paling tepat untuk dilakukan. Semoga Alloh mendengar lalu menghapuskan
jejak hitam, menutupinya dari manusia lain, dan memberikan kesempatan untuk
terus mengukir kebaikan.
Terus mencoba menyepuh yakin, belajar bersabar atas segala
beban seberat apapun dan mensyukuri nikmat sekecil apapun itu. Dan sadarkah
kita? Semua dimulai dari seberapa kuat kita menjaga ketepatan waktu sholat dan
kekhusyukan menjalaninya. Semoga belum terlambat, untuk menjadi hamba yang
dekat dengaNYA sehingga yang ada adalah kebaikan. Yang kemudian akan tercermin
dari perkataannya yang santun, sikapnya yang tegas, hatinya yang lembut, fisik
yang terjaga dari kejahilan dan mata yang senantiasa memancarkan kedamaian.
Semoga Alloh masih memberikan kesempatan untuk menjadi demikian. Kalaupun tidak
utuh demikian, mendekati saja sudah lebih baik. Aamiin.
Purwokerto, 17022016
#OneDayOnePost #FebruariMembara
No comments:
Post a Comment