Wednesday, February 17, 2016

Bertanya pada Diri


doc.pribadi

“Sholat itu menjadi indikator seberapa baiknya diri kita. Bagaimana bisa? Ya bisa, kalau antara waktu sholat yang satu dengan selanjutnya masih ada kemaksiatan maka itu salah satu pertanda sholat kita belum benar atau tidak diterima oleh Alloh.”

Begitulah serangkaian kalimat dari salah seorang ustadz yang aku dengar dari rekaman tausiyahnya di netbookku. Rangkaian kalimat yang mampu membuatku malu, ngilu, sekaligus sesak. Ketakutan pun berbondong-bondong menghuni hati. Terbayang kemaksiatan-kemaksiatan memberondongku lalu menghanguskanku kelak. Sholat yang aku kerjakan belum mampu mencegah keburukanku seutuhnya. Riak kemaksiatan masih terus saja mengiringi. Terkadang hati membenarkan mencari alasan, namun sungguh syariatNYA jelas, tidak ada yang abu-abu.

Dua puluh tujuh tahun berlalu, ini adalah tahun ke dua puluh delapan aku masih diberi kesempatan untuk terus hidup. Mencari penghidupan dan berusaha menebar kebaikan sebisa mungkin. Delapan bulan telah berlalu, aku melewati perjalanan baru di tengah kota tempat aku memperoleh gelar kesarjanaanku. Ini bulan ke Sembilan, sebentar lagi lahiran. Waktu yang cukup untuk belajar mengenali, memahami dan mengambil sikap. Pertanyaannya, sudah sejauh mana aku mampu memberikan sedikit warna kebaikan itu, atau seberapa jauh diri ini menjadi terwarnai? Perlahan tapi pasti lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan mempengaruhi kualitas diri dari segi manapun. Lingkungan baru menjadi uji kelayakan atas kualitas diri. Mampu meningkatkan, bertahan atau justru menurun? Semua bergantung pada diri kita masing-masing. Hidup sendiri benar-benar menguji.

Hati memang tidak pernah berdusta, ia akan terus berusaha menceritakan secara jujur, kemudian bergantung sisi logika kita mau menerima atau menolaknya. Aku merasa semakin jauh dariNYA. Aku merasakan banyak penurunan. Banyak noda hitam yang aku kumpulkan. Inilah sepertinya penyebab kegelisahan-kegelisahan yang mengganggu. Setiap kali teringat tausiyah ustadz itu, ingin rasanya pergi. Bersimpuh menghadapMU, agar ketenangan terus menyelusup mendamaikan hati.

“Kalau belum bisa menjadi hamba yang dekat denganNYA dengan kebaikan yang terus tampil menjadi penjelmaannya, maka jadilah hamba yang merasa berdosa dan terus beristighfar yang diiringi bertobat.”

Mungkin sebaris kalimat itu mampu sejenak menenangkan ketakutan hati, setidaknya selalu ada pintu maaf dariNYA. Terus melangitkan do’a dan memohon ampun atas segala khilaf dan mencoba memperbaikinya adalah cara yang paling tepat untuk dilakukan. Semoga Alloh mendengar lalu menghapuskan jejak hitam, menutupinya dari manusia lain, dan memberikan kesempatan untuk terus mengukir kebaikan.

Terus mencoba menyepuh yakin, belajar bersabar atas segala beban seberat apapun dan mensyukuri nikmat sekecil apapun itu. Dan sadarkah kita? Semua dimulai dari seberapa kuat kita menjaga ketepatan waktu sholat dan kekhusyukan menjalaninya. Semoga belum terlambat, untuk menjadi hamba yang dekat dengaNYA sehingga yang ada adalah kebaikan. Yang kemudian akan tercermin dari perkataannya yang santun, sikapnya yang tegas, hatinya yang lembut, fisik yang terjaga dari kejahilan dan mata yang senantiasa memancarkan kedamaian. Semoga Alloh masih memberikan kesempatan untuk menjadi demikian. Kalaupun tidak utuh demikian, mendekati saja sudah lebih baik. Aamiin.

Purwokerto, 17022016
#OneDayOnePost #FebruariMembara



No comments:

Post a Comment