Sumber gambar : http://img07.deviantart.net/44b2/i/2012/176/b/3/di_padang_ilalang_by_yossypaint-d54vnv6.jpg |
Wajahnya kian pias, menerima
selembar kertas yang kemudian ia remas. Surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
yang baru saja mendarat di tangannya bagai gigitan ular berbisa. Racunnya sebentar
lagi akan menyebar, kemudian membuatnya perlahan-lahan kehilangan kehidupan.
Bukan hanya kekhawatiran keuangan namun juga kekecewaan yang akan membuatnya
mati rasa sekaligus memadamkan semangat yang dulu membara. Baginya bekerja
bukan hanya urusan perut dan kemewahan semata, namun lebih kepada tanggung
jawab atas gelar yang susah payah ia perjuangkan.
Hatinya terus merintih. Matanya
mengkilat penuh amarah. Ingin rasanya ia meluruh saja, hanyut terbawa deras
hujan yang meresap ke tanah. Berkali-kali ia pukul kepalanya, ia jambak
rambutnya, mengambil nafas panjang, berdiri, lalu duduk, kemudian berdiri lagi.
Kebingungan benar-benar membuatnya semakin menua. Wajahnya kusut. Rambutnya
menjadi berantakan. Kerutan di dahinya semakin kuat mencengkeram. Ia masih
berada di sekitar kantor tempat ia menghabiskan seluruh energi dan pikirannya
untuk berkarya. Berkali-kali ia menatap gedung menjulang itu. Giginya beradu,
menimbulkan bunyi yang membuat siapa saja yang ada di sampingnya akan menjauh.
Sungguh, balasan pada selembar kertas itu membuatnya menggumpalkan benci
sekaligus dendam.
Matahari kian meninggi. Keringat
mulai membanjiri tubuhnya. Emosinya masih berada dalam tanda bahaya dan ia masih
mondar-mandir di tempat semula. Kelakuannya yang aneh itu menarik perhatian
Kang Jono penjual siomay langganannya yang kebetulan baru saja buka lapak. Kang
Jono mengenal baik lelaki itu. Setiap hari jum’at, lelaki itu membeli siomay
beberapa porsi untuk dibagi dengan orang yang kurang beruntung dan menambahkan
uang lebih kepadanya. Kang Jono menghentikan aktivitasnya dan menghampiri
lelaki itu untuk menuntaskan rasa penasarannya.
“Alim, ada apa gerangan?
Tampilanmu seperti habis bergadang berbulan-bulan?” tanya kang Jono sambil
menyentuh punggung lelaki itu. Bukan menjawab pertanyaan kang Jono yang telah
dimakan penasaran, lelaki itu justru terduduk lemas dan membuang muka.
“Kamu dipecat? Atau kecopetan?
Jam segini kok di luar gedung? Bukannya jam istirahat masih sekitar 1 jam lagi?”
selidik kang Jono. Lelaki itu masih membisu. Kang Jono menghela nafas panjang.
Mungkin dugaannya benar mungkin juga salah.
“Kalau putus cinta jelas ndak
mungkin, kan kamu ndak pacaran. Atau ditolak ya?” cerca kang Jono sambil
bercanda. Berharap lelaki itu, Alim, mau membuka mulutnya. Bagi kang Jono, Alim
adalah sebagian rejekinya. Melihat kondisinya yang demikian jelas membuat kang
Jono prihatin. Kang Jono masih terus berusaha menanyai Alim dengan berbagai
gaya dan nada.
Alim masih membeku. Tidak ada
satu pun kalimat kang Jono yang mampu membuatnya bersuara.
“Lim, aku tahu, kamu sedang tidak
normal. Mungkin sedih dan semacamnya. Mungkin kamu tidak mau berbagi denganku
yang hanya tukang siomay langgananmu ini. Aku hanya sedih melihatmu tidak
seperti biasanya. Maaf Lim, mungkin kamu butuh sendiri. Halah, malah jadi
pidato. Hati yang panas harus didinginin biar tidak hangus. Yo udah, kalau
haus, datanglah ke kedai.” Demikian kalimat panjang yang akhirnya kang Jono
sampaikan, sebagai tanda bahwa usaha merayunya tidak berbalas.
Kang Jono meninggalkan Alim yang
masih sibuk dengan kekacauan hatinya. Kang Jono merapalkan do’a khusus bagi
Alim. Ia memang tidak bisa menebak pasti penyebab kacaunya Alim hari ini, ia
hanya bisa berharap gusti Allah memberikan petunjuk bagi Alim.
***
Alim memang sedang ingin sendiri.
Kehadiran orang lain justru membuatnya semakin merasa kalah. Meski demikian, ia
merasa bersalah juga kepada kang Jono. Batinnya meminta maaf, diantara emosi
yang masih bergelombang. Setelah kang Jono kembali ke kedainya, Alim memutuskan
untuk beranjak pergi. Ia tidak ingin salah berucap, tidak ingin melampiaskan
kekesalannya pada orang lain yang jelas tidak ada hubungannya dengan emosi dirinya.
Lebih baik ia pergi menentramkan diri.
Alim melajukan motornya, ia ingin
pergi sejauh mungkin, hingga hatinya tenang dan emosinya mereda. Ia
meninggalkan pusat kota, tujuannya adalah membelah jalanan pedesaan dengan
hamparan hijau di sebelah kanan dan kirinya. Baginya, alam adalah tempat yang
paling nyaman untuk melepas panas.
Ia sedang menganalisis, menakar
dan menahan untuk tidak menyalahkan. Kebencian memang masih meletup-letup,
bahkan rasa dendam sempat menguasainya beberapa jam yang lalu. Belum mereda
setuhnya namun ia terus berusaha untuk berdamai. Tamparan angin yang berlawanan
menerpa wajahnya, membuatnya kemudian berpikir. Angin yang terkadang
membelainya hingga tidur, ternyata dilain kesempatan bisa menamparnya hingga
kesakitan. Perlahan-lahan sisi logikanya mulai menyimpulkan. Sesuatu yang terkadang
susah payah ia perjuangkan, dilain kesempatan harus dengan ikhlas dilepaskan.
“Ah, hidup memang bukan iklan dan
dongeng,” gumamnya.
***
Alim menghentikan motornya di
sebuah mushola pinggir desa. Awalnya ia berniat menjama’ sholatnya, sekalian
sampai tujuan. Padang savanna yang ingin ia jadikan tempat melepas segala
kerusuhan hatinya. Namun, hatinya terus gelisah berkumandang, menyuruhnya
berhenti untuk menghadap sang Khalik.
Air wudhu yang membasahi
kulitnya, perlahan memberinya ketenangan. Ia berusaha setenang mungkin untuk
bertemu dengan penciptanya, berharap pertikaian di dalam dirinya segera
berhenti. Menyusul kedamaian kemudian.
***
Alim tergugu, menangis. Ia merasa
kalah, ia merasa gagal. Kebanggaan yang selalu ia pamirkan berakhir pada
selembar kertas yang telah ia musnahkan. Hatinya masih panas dan juga sesak. Ia
khawatir akan melukai perempuan yang paling ia kasihi, ibunya, jika nantinya ia
kembali di rumah tanpa penghasilan. Tabungan yang ia miliki tentu saja takkan
sanggup bertahan lama, sementara mencari pekerjaan bukan hal mudah di jaman
yang serba susah seperti sekarang ini.
Senja mulai turun, biru berganti
jingga. Sudah satu jam ia duduk di tengah-tengah padang savanna ini. Memandang
lepas. Meski di dalam dirinya riuh. Hati dan pikirannya terus berdialog, mencari
kesimpulan dan penyelesaian.
Getar dalam saku jaketnya
membuatnya kembali pada alam nyata. Pesan masuk.
“Kok belum sampai rumah? Kamu baik-baik saja? Perasaan ibu kok tidak
enak. Jangan malam-malam ya! Kalau lembur telpon ibu sebentar, biar ibu tidak
khawatir.”
Pilu kembali memukul hatinya. Perih
membayangkan kekecewaan yang akan tergambar pada perempuan yang mengirimnya
pesan. Namun menyerah dan lari sepertinya bukanlah solusi.
Adzan maghrib telah
bersahut-sahutan. Memanggilnya kembali.
“Aku harus kembali! Bangkit dan
menyusun kepingan yang sudah tak lagi berbentuk menjadi lebih indah dan
menawan. Masih ada mata air di lahan yang lain,” ucapnya sambil berkemas untuk
pulang.
***
Purwokerto, 16022016
#OneDayOnePost #FebruariMembara
Masyaallah. Bagus mba, bersambung ga?
ReplyDeleteTerimakasih mba, sudah mampir. Ga mba,..:)
ReplyDelete