Tuesday, February 16, 2016

Alim

Sumber gambar : http://img07.deviantart.net/44b2/i/2012/176/b/3/di_padang_ilalang_by_yossypaint-d54vnv6.jpg

Wajahnya kian pias, menerima selembar kertas yang kemudian ia remas. Surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang baru saja mendarat di tangannya bagai gigitan ular berbisa. Racunnya sebentar lagi akan menyebar, kemudian membuatnya perlahan-lahan kehilangan kehidupan. Bukan hanya kekhawatiran keuangan namun juga kekecewaan yang akan membuatnya mati rasa sekaligus memadamkan semangat yang dulu membara. Baginya bekerja bukan hanya urusan perut dan kemewahan semata, namun lebih kepada tanggung jawab atas gelar yang susah payah ia perjuangkan.

Hatinya terus merintih. Matanya mengkilat penuh amarah. Ingin rasanya ia meluruh saja, hanyut terbawa deras hujan yang meresap ke tanah. Berkali-kali ia pukul kepalanya, ia jambak rambutnya, mengambil nafas panjang, berdiri, lalu duduk, kemudian berdiri lagi. Kebingungan benar-benar membuatnya semakin menua. Wajahnya kusut. Rambutnya menjadi berantakan. Kerutan di dahinya semakin kuat mencengkeram. Ia masih berada di sekitar kantor tempat ia menghabiskan seluruh energi dan pikirannya untuk berkarya. Berkali-kali ia menatap gedung menjulang itu. Giginya beradu, menimbulkan bunyi yang membuat siapa saja yang ada di sampingnya akan menjauh. Sungguh, balasan pada selembar kertas itu membuatnya menggumpalkan benci sekaligus dendam.

Matahari kian meninggi. Keringat mulai membanjiri tubuhnya. Emosinya masih berada dalam tanda bahaya dan ia masih mondar-mandir di tempat semula. Kelakuannya yang aneh itu menarik perhatian Kang Jono penjual siomay langganannya yang kebetulan baru saja buka lapak. Kang Jono mengenal baik lelaki itu. Setiap hari jum’at, lelaki itu membeli siomay beberapa porsi untuk dibagi dengan orang yang kurang beruntung dan menambahkan uang lebih kepadanya. Kang Jono menghentikan aktivitasnya dan menghampiri lelaki itu untuk menuntaskan rasa penasarannya.

“Alim, ada apa gerangan? Tampilanmu seperti habis bergadang berbulan-bulan?” tanya kang Jono sambil menyentuh punggung lelaki itu. Bukan menjawab pertanyaan kang Jono yang telah dimakan penasaran, lelaki itu justru terduduk lemas dan membuang muka.

“Kamu dipecat? Atau kecopetan? Jam segini kok di luar gedung? Bukannya jam istirahat masih sekitar 1 jam lagi?” selidik kang Jono. Lelaki itu masih membisu. Kang Jono menghela nafas panjang. Mungkin dugaannya benar mungkin juga salah.

“Kalau putus cinta jelas ndak mungkin, kan kamu ndak pacaran. Atau ditolak ya?” cerca kang Jono sambil bercanda. Berharap lelaki itu, Alim, mau membuka mulutnya. Bagi kang Jono, Alim adalah sebagian rejekinya. Melihat kondisinya yang demikian jelas membuat kang Jono prihatin. Kang Jono masih terus berusaha menanyai Alim dengan berbagai gaya dan nada.
Alim masih membeku. Tidak ada satu pun kalimat kang Jono yang mampu membuatnya bersuara.

“Lim, aku tahu, kamu sedang tidak normal. Mungkin sedih dan semacamnya. Mungkin kamu tidak mau berbagi denganku yang hanya tukang siomay langgananmu ini. Aku hanya sedih melihatmu tidak seperti biasanya. Maaf Lim, mungkin kamu butuh sendiri. Halah, malah jadi pidato. Hati yang panas harus didinginin biar tidak hangus. Yo udah, kalau haus, datanglah ke kedai.” Demikian kalimat panjang yang akhirnya kang Jono sampaikan, sebagai tanda bahwa usaha merayunya tidak berbalas.

Kang Jono meninggalkan Alim yang masih sibuk dengan kekacauan hatinya. Kang Jono merapalkan do’a khusus bagi Alim. Ia memang tidak bisa menebak pasti penyebab kacaunya Alim hari ini, ia hanya bisa berharap gusti Allah memberikan petunjuk bagi Alim.

***
Alim memang sedang ingin sendiri. Kehadiran orang lain justru membuatnya semakin merasa kalah. Meski demikian, ia merasa bersalah juga kepada kang Jono. Batinnya meminta maaf, diantara emosi yang masih bergelombang. Setelah kang Jono kembali ke kedainya, Alim memutuskan untuk beranjak pergi. Ia tidak ingin salah berucap, tidak ingin melampiaskan kekesalannya pada orang lain yang jelas tidak ada hubungannya dengan emosi dirinya. Lebih baik ia pergi menentramkan diri.

Alim melajukan motornya, ia ingin pergi sejauh mungkin, hingga hatinya tenang dan emosinya mereda. Ia meninggalkan pusat kota, tujuannya adalah membelah jalanan pedesaan dengan hamparan hijau di sebelah kanan dan kirinya. Baginya, alam adalah tempat yang paling nyaman untuk melepas panas.

Ia sedang menganalisis, menakar dan menahan untuk tidak menyalahkan. Kebencian memang masih meletup-letup, bahkan rasa dendam sempat menguasainya beberapa jam yang lalu. Belum mereda setuhnya namun ia terus berusaha untuk berdamai. Tamparan angin yang berlawanan menerpa wajahnya, membuatnya kemudian berpikir. Angin yang terkadang membelainya hingga tidur, ternyata dilain kesempatan bisa menamparnya hingga kesakitan. Perlahan-lahan sisi logikanya mulai menyimpulkan. Sesuatu yang terkadang susah payah ia perjuangkan, dilain kesempatan harus dengan ikhlas dilepaskan.

“Ah, hidup memang bukan iklan dan dongeng,” gumamnya.

***
Alim menghentikan motornya di sebuah mushola pinggir desa. Awalnya ia berniat menjama’ sholatnya, sekalian sampai tujuan. Padang savanna yang ingin ia jadikan tempat melepas segala kerusuhan hatinya. Namun, hatinya terus gelisah berkumandang, menyuruhnya berhenti untuk menghadap sang Khalik.

Air wudhu yang membasahi kulitnya, perlahan memberinya ketenangan. Ia berusaha setenang mungkin untuk bertemu dengan penciptanya, berharap pertikaian di dalam dirinya segera berhenti. Menyusul kedamaian kemudian.

***
Alim tergugu, menangis. Ia merasa kalah, ia merasa gagal. Kebanggaan yang selalu ia pamirkan berakhir pada selembar kertas yang telah ia musnahkan. Hatinya masih panas dan juga sesak. Ia khawatir akan melukai perempuan yang paling ia kasihi, ibunya, jika nantinya ia kembali di rumah tanpa penghasilan. Tabungan yang ia miliki tentu saja takkan sanggup bertahan lama, sementara mencari pekerjaan bukan hal mudah di jaman yang serba susah seperti sekarang ini.

Senja mulai turun, biru berganti jingga. Sudah satu jam ia duduk di tengah-tengah padang savanna ini. Memandang lepas. Meski di dalam dirinya riuh. Hati dan pikirannya terus berdialog, mencari kesimpulan dan penyelesaian.

Getar dalam saku jaketnya membuatnya kembali pada alam nyata. Pesan masuk.

“Kok belum sampai rumah? Kamu baik-baik saja? Perasaan ibu kok tidak enak. Jangan malam-malam ya! Kalau lembur telpon ibu sebentar, biar ibu tidak khawatir.”

Pilu kembali memukul hatinya. Perih membayangkan kekecewaan yang akan tergambar pada perempuan yang mengirimnya pesan. Namun menyerah dan lari sepertinya bukanlah solusi.

Adzan maghrib telah bersahut-sahutan. Memanggilnya kembali.

“Aku harus kembali! Bangkit dan menyusun kepingan yang sudah tak lagi berbentuk menjadi lebih indah dan menawan. Masih ada mata air di lahan yang lain,” ucapnya sambil berkemas untuk pulang.

***
Purwokerto, 16022016
#OneDayOnePost #FebruariMembara



2 comments: