Monday, October 24, 2022

Daur Ulang Sampah Perasaan; Wujud Mencintai Diri Sendiri

Monday, October 24, 2022 0 Comments

 



Sabtu malam atau orang-orang terbiasa menyebutnya malam minggu. Hujan masih bernyanyi di luar sana. Itu artinya, sinyal internet akan sedikit bergejolak. Naik turun bahkan hilang. Semoga masih terkendali dengan baik agar bisa tergabung dengan zoominar bersama Kak Jee Luvina dan Bunda Erlik Isfandiari dengan tema yang tidak kalah menarik dengan zoominar sebelumnya. Tema kali adalah "Mengolah Rasa Jadi Karya". Zoominar ini masih diselenggarakan oleh Nulisyuk. Sebuah komunitas yang menjadi teman menulis, menyelenggarakan kelas menulis online baik berbayar maupun gratis. Aku sudah lama mengikuti Nulisyuk di media sosial instagram, namun baru  tergerak untuk join pada zoominar "Self Healing with Writing". 


Sejak SMA, aku terbiasa menulis buku harian. Isinya macam-macam. Mulai dari perasaan sehari-hari sampai menulis puisi. Aku berhenti menulis buku harian setelah bekerja. Aku merasa perasaan-perasaan tidak penting (kecewa, sedih, capek, gagal) tidak perlu aku tulis. Saat itu aku merasa, bahwa aku harus fokus pada impian-impianku. Saat sedih, aku pendam, kalau sudah tidak tahan, menangis malam-malam. Aku memendam segalanya sendiri. Aku mulai menulis buku harian lagi (walaupun tidak rutin) setelah menikah. Aku perlu meluapkan segala rasa yang aku tidak yakin untuk bercerita kepada pasangan, apalagi orang tua. Namun, aku lebih sering mengabaikan segala gejolak yang ada dalam hati. Berharap akan menghilang dan leyap tanpa bekas.


Setelah aku mendengarkan penuturan dari Kak Jee dan Bunda Erlik, ternyata kita perlu mengeluarkan sampah-sampah dari hati. Kita perlu mengalirkan segala perasaan tidak  nyaman agar tidak menggenang dan berbau. Kita dapat meluapkan segalanya melalui tulisan. Tulis apa saja yang kita rasakan. Segala perasaan tidak nyaman itu, Allah yang menciptakan dan pasti punya tujuan. Kita bisa mengelola segala emosi tersebut kemudian mengubahnya menjadi rasa syukur. Lebih lanjut lagi mengubahnya menjadi karya. 


Saat sesi latihan, aku mencoba mengalirkan perasaan tidak nyaman yang aku rasakan saat itu. Kemudian, Kak Jee mengarahkan untuk mengubah menjadi kalimat positif. Langkah selanjutnya, ubah kalimat positif tersebut menjadi kalimat inspiratif. Lakukan itu terus menerus, kemudian dipilah dan disaring yang satu tema. Mengolah, mendaur ulang segala sampah perasaan menjadi... treenggggggg...buku, sebuah karya yang bisa menginspirasi orang lain. 


Hidup hanya sekali, jadilah berarti. So, kita perlu menyelesaikan permasalahan diri sendiri, self healing dengan mengalirkan rasa, menulis apapun yang sedang dirasakan. Setelah itu, marilah membangun bonding dengan diri sendiri (self bonding), agar kita paham apa yang diimpikan, apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan. Jangan lupa menambahkan MISS (Menerima, Ikhlas, Sabar dan Syukur) dalam setiap mengolah sampah perasaan.


Alhamdulillah, atas ijin Allah bisa memperoleh ilmu melalui Kak Jee dan Bunda Erlik. Barangkali ini sebuah tanda, untuk mulai mendaur ulang sampah perasaan dengan serius. Semoga Allah terus memudahkan langkahku. Terus berbenah, merawat syukur, memelihara kesabaran. Menikmati setiap fase, mensyukuri setiap episode dan terus menebalkan kesabaran untuk segala rasa yang datang menyapa. Mendaur ulang sampah perasaan adalah bukti bahwa kita mencintai diri sendiri dengan sebenarnya. 


#selfhealingwithwriting

#mengolahrasamenjadikarya

#selfbonding

#nulisyuk




Friday, October 14, 2022

Self Bonding with Writing, Writing is Healing

Friday, October 14, 2022 0 Comments


Sudah lama rumah ini tidak ku sambangi. Hari-hariku di telan rutinitas dan kewajiban lain. Seharusnya aku masih bisa menyapanya meski hanya beberapa kalimat. Namun, fakta berbicara lain. 


Aku tidak menyadari bahwa ada bertumpuk-tumpuk keinginan yang tidak sesuai kenyataan yang tumbuh menjadi kekecewaan, kemarahan, iri dan perasaan lainnya. Aku seringkali menyesali kenapa aku melewatkan banyak hal yang seharusnya membuatku menjadi seperti ambisiku. Hingga puncaknya, aku gagal meraih apa yang aku mau. Satu lagi, aku merasa belum bisa menjadi ibu yang maksimal membersamai tumbuh kembang anakku.


Perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran liar tidak sadar membuatku jauh dari rasa syukur dan produktif. Aku melarikan diri ke dunia maya baik media sosial maupun belanja online (tepatnya milih barang dan memasukkan ke dalam keranjang tidak berujung chekout) yang awalnya aku anggap sebagai refreshing. Kenyataannya, aku justru terlempar jauh dari kata "fresh". 


Aku belum bisa begitu bebas mengekspresikan segala kegelisahan, kemarahan, kekecewaan dan keinginan kepada pasangan hidupku. Aku merasa bahwa ini harus aku selesaikan sendiri. Aku butuh menyembuhkan diriku dengan caraku. Aku sering mendengar bahwa dengan menulis bisa menjadi salah satu cara healing. Aku pun sudah mencobanya, namun belum sepenuhnya berhasil. Saat aku melihat flyer webinar gratis tentang Self Healing with Writing yang akan diisi oleh Kak Jee Luvina dan Bunda Erlik Isfandiari, tergerak tanganku untuk mendaftar. Aku berharap aku bisa lebih maksimal melakukan penyembuhan.


Aku tidak bisa menahan air mata saat Kak Jee dan Bunda Erlik menyampaikan materi. Apalagi saat mereka membaca komentar dari peserta. Ada yang sama dengan kondisiku. Merasa tidak maksimal dalam diri, ada bertumpuk kekecewaan yang tidak selesai. Bunda Erlik menyampaikan bahwa kalau anak-anak di rumah rewel berarti ada masalah dalam diri orang tuanya. Aku langsung menangis. Bukan anakku yang banyak maunya, tetapi aku. Ibunya yang belum selesai dengan dirinya.


Kak Jee menambahkan bahwa kita harus bahagia dulu, sebelum membahagiakan orang lain. Oleh karena itu, kita perlu mengenal diri kita lebih baik, kita juga perlu terhubung dengan diri kita sendiri atau isitilah kerennya self bonding. Jika kita sudah terhubung dengan baik dengan diri sendiri maka kita akan paham kondisi diri kita itu sedang bagaimana, maunya apa dan harus seperti apa menyikapi dan menyelesaikannya. Semoga Allah memberikan aku kesempatan untuk mengikuti kelas "Self Bonding with Writing". Aamiin.


Terima kasih Allah, telah membantuku menjadi lebih baik lagi. Terimakasih Kak Jee dan Bunda Erlik. Terimakasih teman-teman peserta webinar atas energi baik yang kalian pancarkan. Terimakasih aku, yang mau berproses menjadi lebih baik lagi.





Tuesday, November 12, 2019

Sekedar Melepas Rasa

Tuesday, November 12, 2019 0 Comments

Luka itu semakin bertumpuk-tumpuk, jika ku benahi lalu kusimpan. Aku selalu berusaha untuk mengabaikannya. Biar luruh dan aku tidak ingat lagi.

Rumah tangga memang tak selalu sweet seperti stori di instagram atau konten vlog di youtube. Ada banyak perbedaan yang memicu konflik, ada banyak kesalahpahaman yang memicu curiga dan kemarahan. Masing-masing memang harus menyadari dan memahami pasangan masing-masing. Sedikit saja menurunkan ego masing-masing, agar konflik itu tidak membesar.

Konflik dalam rumah tangga sejatinya memang perlu agar satu sama lain di kemudian hari memahami dan tidak melakukan kesalahan yang sama. Konflik itu sejatinya mendewasakan bukan meninggalkan luka. Nah, disinilah peran masing-masing untuk meredakan dan menyelesaikan sangat berpengaruh.

Hampir tiga tahun aku hidup bersama dengan suamiku, tak lantas membuatku memahaminya dengan penuh pun sebaliknya. Memahami satu sama lain ya selama pernikahan itu berlangsung, hingga batas waktu yang ditentukan Alloh.

Aku belajar dari pernikahan kedua orang tuaku yang banyak konflik, maka sebisa mungkin aku menghindarinya, meski ujungnya aku yang terluka. Tetapi itu sudah menjadi pilihanku. Berdebat panjang, menyalahkan dengan nada tinggi, ngomel-ngomel tidak akan menyelesaikan masalah, karena suami tidak suka istrinya ngomel-ngomel. Aku memang lebih sering diam berkepanjangan atau cemberut dan pasang muka masam jika sedang marah atau tidak suka. Ini pun bukan solusi, tetapi setidaknya itu wujud dari ekspresi. Tinggal berdekatan dengan mertua membuatku bisa menahan untuk tidak bernada tinggi. Dan sebaiknya memang begitu, menyelesaikan masalah tidak harus saling ngegas. 

Aku selalu menasehati diriku sendiri ketika kekecewaan itu datang melanda. Kembali menegaskan bahwa aku memilihnya dengan penuh kesadaran, bukan dalam keadaan mimpi. Aku berusaha untuk mensyukuri apapun yang menjadi rejekiku melalui pasanganku. Rejeki dalam artian yang luas, bukan hanya soal materi. Aku berusaha merasa cukup meski keinginan ini membuncah. Aku berusaha untuk menerima, meski kadang hati bergolak meminta lebih. Aku berusaha untuk menahan lidahku untuk tidak mengumbar masalah dan apapun yang menyangkut kehidupanku bersamanya.

Jika ditanya apakah aku bahagia memilikinya? Ya tentu saja. Apakah aku kecewa? Ya sebagian. Apakah aku menyesal? Tidak, karena ketika aku menikah dengan orang lain pasti akan ada ujian yang lain lagi. Bukankan Alloh Maha Mengetahui apa yang paling tepat untuk manusia? Maka bersyukur dan terus berdoa untuk kebaikan suami adalah obat yang paling mujarab atas segala rasa yang datang siling berganti.

Kebahagiaan itu harus diciptakan oleh diri sendiri. Menuntuk orang lain untuk membahagiakan diri sendiri itu tidaklah tepat, karena ukuran kebahagiaan untuk diri sendiri itu ya dirinyalah yang paling tahu. Berhenti menuntut orang lain termasuk pasangan sendiri, lakukan sesuai dengan kemampuan. Berbuat baik semaksimal mungkin, nanti Alloh yang akan membalasnya.

Ketenger, 12 November 2019 15:30

Sunday, September 22, 2019

Uneg-uneg

Sunday, September 22, 2019 0 Comments


Sudah satu jam menatap layar monitor. Belum ada satu kalimat pun yang meluncur untuk merangkai proposal yang harus segera kuselesaikan. Target tahun ini harus sudah selesai penelitian, artinya proposal harus kelar dan lolos seminar.

Aku harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai.Bukankah memang kenyataan tak selalu sama dengan angan dan harapan? Bukankah memang demikan lebih sering? Berdiam diri tak akan pernah menyelesaikan apapun. Berfikir saja tanpa mencoba mengerjakan juga tidak akan berdampak apapun.

Waktu yang sudah dibuang untuk melamun dan buka online shop tanpa membeli, serta merelakan anak dipegang sama si mamak harus segera dihentikan. Pelarian macam itu hanya akan membuat otak semakin enggan untuk menyelesaikan.

Sudah mundur target satu bulan, hingga akhir tahun masih ada waktu tiga bulan.Ups, ternyata singkat sekali bukan? Ternyata hidup ngga jelas melenakan. Berarti dalam dua bulan harus selesai proposal dalam artian lolos seminar. Punya waktu satu bulan untuk penelitian. Awal tahun 2020 sudah harus selesai analisis data, dan mulai menulis pembahasan. Dan ternyata aku hanya punya waktu enam bulan untuk menyelesaikan tesis, submit jurnal hingga sidang. September 2020 harus sudah masuk kantor lagi. Waktu cepat sekali berlalunya. So, mulai sekarang tidak ada lagi santai-santai sementara pekerjaan masih mambrah-mambrah alias berantakan.

Well, aku juga harus memikirkan langkah ke depan buat anakku. Apakah tetap mau sama mamak atau day care, plus financialnya. MasyaAlloh, kalau dibayangkan so hard. But Alloh always be there.

Semangat. Keep Fight!

*Mulai hari ini aku akan menulis jurnal. Dan sepertinya perlu menerapkan reward and punishment buat diri sendiri biar disiplin.

Semoga Alloh mudahkan. Aamiin.

Wednesday, June 26, 2019

Semoga Alloh Mudahkan

Wednesday, June 26, 2019 0 Comments
Hasil gambar untuk berdoa kepada allah



Tahun 2019 sudah menemui pertengahan. Dan ternyata, tahun 2019 ini sama sekali aku belum meninggalkan jejak. Hari ini perasaan kacau datang kembali. Perasaan yang hadir setelah kekecewaan datang lebih dahulu. Kecewa pada diriku sendiri. Segala angan, harapan dan idealisme menguap begitu saja. Hilang. Dan aku kacau kemudian.

Saya memang tidak boleh memaksa dan memang tidak bisa. Yang harusnya aku lakukan adalah merubah diriku untuk menjadi lebih baik. Yakinlah bahwa kebaikan akan memantul. Kebaikan yang memang benar-benar kau upayakan. Bukan hanya sekedar pencitraan.

Dulu, ketika mengambil amanah ini adalah dengan tujuan agar aku lebih banyak bisa sama anakku. Secara fisik iya, tetapi jiwaku entah kemana. Sibuk dengan pikiran-pikiran yang entah. Aku tidak signifikan memberikan full jiwa dan ragaku, tetapi aku menuntut anakku seperti inginku. Ini egois bukan? Maafkan Bunda, Nak!

Waktu berjalan begitu cepatnya, padahal semua akan dihisab berdasarkan niat dan amalannya. Memang segalanya tidak selalu sama dengan ingin, makanya manajemen yang baik tentang diri, waktu, keuangan itu sangat penting. Tegas dan disiplin buat diri sendiri terutama.

Semoga kekacauan ini berimbas pada semangat untuk berbenah, bukan malah semakin kacau atau bahkan down. Semoga Alloh mudahkan. Aamiin.