Luka itu semakin bertumpuk-tumpuk, jika ku benahi lalu kusimpan. Aku selalu berusaha untuk mengabaikannya. Biar luruh dan aku tidak ingat lagi.
Rumah tangga memang tak selalu sweet seperti stori di instagram atau konten vlog di youtube. Ada banyak perbedaan yang memicu konflik, ada banyak kesalahpahaman yang memicu curiga dan kemarahan. Masing-masing memang harus menyadari dan memahami pasangan masing-masing. Sedikit saja menurunkan ego masing-masing, agar konflik itu tidak membesar.
Konflik dalam rumah tangga sejatinya memang perlu agar satu sama lain di kemudian hari memahami dan tidak melakukan kesalahan yang sama. Konflik itu sejatinya mendewasakan bukan meninggalkan luka. Nah, disinilah peran masing-masing untuk meredakan dan menyelesaikan sangat berpengaruh.
Hampir tiga tahun aku hidup bersama dengan suamiku, tak lantas membuatku memahaminya dengan penuh pun sebaliknya. Memahami satu sama lain ya selama pernikahan itu berlangsung, hingga batas waktu yang ditentukan Alloh.
Aku belajar dari pernikahan kedua orang tuaku yang banyak konflik, maka sebisa mungkin aku menghindarinya, meski ujungnya aku yang terluka. Tetapi itu sudah menjadi pilihanku. Berdebat panjang, menyalahkan dengan nada tinggi, ngomel-ngomel tidak akan menyelesaikan masalah, karena suami tidak suka istrinya ngomel-ngomel. Aku memang lebih sering diam berkepanjangan atau cemberut dan pasang muka masam jika sedang marah atau tidak suka. Ini pun bukan solusi, tetapi setidaknya itu wujud dari ekspresi. Tinggal berdekatan dengan mertua membuatku bisa menahan untuk tidak bernada tinggi. Dan sebaiknya memang begitu, menyelesaikan masalah tidak harus saling ngegas.
Aku selalu menasehati diriku sendiri ketika kekecewaan itu datang melanda. Kembali menegaskan bahwa aku memilihnya dengan penuh kesadaran, bukan dalam keadaan mimpi. Aku berusaha untuk mensyukuri apapun yang menjadi rejekiku melalui pasanganku. Rejeki dalam artian yang luas, bukan hanya soal materi. Aku berusaha merasa cukup meski keinginan ini membuncah. Aku berusaha untuk menerima, meski kadang hati bergolak meminta lebih. Aku berusaha untuk menahan lidahku untuk tidak mengumbar masalah dan apapun yang menyangkut kehidupanku bersamanya.
Jika ditanya apakah aku bahagia memilikinya? Ya tentu saja. Apakah aku kecewa? Ya sebagian. Apakah aku menyesal? Tidak, karena ketika aku menikah dengan orang lain pasti akan ada ujian yang lain lagi. Bukankan Alloh Maha Mengetahui apa yang paling tepat untuk manusia? Maka bersyukur dan terus berdoa untuk kebaikan suami adalah obat yang paling mujarab atas segala rasa yang datang siling berganti.
Kebahagiaan itu harus diciptakan oleh diri sendiri. Menuntuk orang lain untuk membahagiakan diri sendiri itu tidaklah tepat, karena ukuran kebahagiaan untuk diri sendiri itu ya dirinyalah yang paling tahu. Berhenti menuntut orang lain termasuk pasangan sendiri, lakukan sesuai dengan kemampuan. Berbuat baik semaksimal mungkin, nanti Alloh yang akan membalasnya.
Ketenger, 12 November 2019 15:30
No comments:
Post a Comment