Judul
buku : Halaman Terakhir, Sebuah
Novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng
Pengarang : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Noura Books
Cetakan : Februari 2015
Tebal : 434 halaman
ISBN : 9786027816657
Prahara
Kapolri dan KPK belum juga menuai ujung. Posisi kepemimpinan Kapolri juga masih belum
terjawab. Kasus demi kasus yang terjadi di negeri ini datang silih berganti.
Dan semuanya menuntut untuk terselesaikan. Di tengah memanasnya prahara Kapolri
vs KPK hadirlah sebuah novel biografi dengan judul “Halaman Terakhir, Sebuah
Novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng” seakan menjadi oase di tengah gurun
pasir. Penyejuk bagi hati yang membara. Pelepas dahaga kerinduan akan sosok pemimpin
ideal. Entah ini kesengajaan atau kebetulan. Akan tetapi, bukankah tidak ada
yang kebetulan di dunia ini? Novel yang dihadirkan saat Polri tengah
diguncang ketidakpercayaan, saat
kekuasaan menjadi bagian terpenting dalam episodenya, saat kepemimpinan negeri
ini belum lama berganti, novel ini seolah menjadi perenungan tersendiri bagi
yang berpikir.
Keteladanan
amatlah penting dalam proses kehidupan ini. Apalagi ia adalah seorang pemimpin,
keteladanan menjadi sebuah keharusan. Dikalangan Polri, negeri ini pernah punya
seorang pemimpin yang patut diteladani. Ketegasan, keadilan, keberanian,
kedisiplinan, kejujuran dan dedikasinya untuk negeri bukan isapan jempol
belaka, namun terbukti konkret. Hoegeng tak hanya menerapkan keadilan dan
ketegasan pada bawahan ataupun mereka yang melanggar hukum, namun juga kepada
keluarganya. Seperti keputusan yang diambil terhadap Aditya, anaknya, saat ia
diam-diam mendaftar di Angkatan Udara.“Ini
adalah detik-detik terberat baginya. Ia tahu, sebagai Kapolri, tanda tangannya tentu
bisa memperlancar upaya anaknya. Tapi, ini tentu tidak adil bagi pendaftar yang
lain (hlm 158)”. Perlakuan Hoegeng
tersebut tidak hanya terjadi pada Aditya, akan tetapi juga pada istrinya dan
anggota keluarga yang lain. Ia tidak ingin masyarakat berprasangka buruk
terhadap dirinya dan keluarganya. Bagi Hoegeng jabatan sebagai Kapolri bukan
menjadi ajang untuk melebarkan kekuasaan. Hoegeng percaya bahwa “Keteguhan pada sikap yang benar akan
terbayar sepadan (hlm 160)”. Dan Hoegeng telah membuktikan, Tuhan selalu
memberikan pertolongan kepadanya dan keluarganya.
Ujian
bagi penegak hukum memang tidak ringan. Seorang penegak hukum tentunya sering
dihadapkan pada pilihan-pilihan yang berat. Bukan hal yang mudah ketika harus bertindak
adil pada pelanggar hukum yang ternyata mereka adalah salah satu anggota
keluarga dari rekan kerja, atasan, atau bahkan orang yang paling berkuasa di
negeri ini. Rasa sungkan, rikuh, tidak
enak dan lain sebagainya menjadi penggoda kaum penegak hukum. Belum lagi
ditambah iming-iming kenaikan jabatan, mobil mewah, cek senilai ratusan juta
atau yang lainnya. Ini akan menambah daftar betapa beratnya menjadi seorang
penegak hukum. Akan tetapi, hal itu tentu tidak mustahil untuk dilakukan. Hoegeng
telah membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi penegak hukum yang bersih. Keyakinan
pada Tuhan, kematangan kepribadian, rasa cinta terhadap negeri ini, kesadaran
akan tanggung jawab yang ia terima, akan menjadi landasan bahwa kebenaran dan
keadilan haruslah ditegakkan, apapun resiko yang harus ditanggung. Bukankah
setiap pilihan akan menuai tanggung jawab dan resiko?
Kebaikan
memang akan selalu berseberangan dengan keburukan. Keadilan pun demikian. Sosok
Hoegeng dengan segala pendiriannya membawa resiko yang sangat besar. Tidak
semua penduduk negeri ini menyukai sepak terjang Hoegeng. Sebab, pola kepemimpin Hoegeng yang cerdas,
tegas dan adil akan menjadi pengganggu bagi sekelompok orang yang bertindak
culas, jahat, dan cenderung merugikan negara. Bahkan terkadang keputusan
tegasnya juga harus berseberangan dengan orang nomor satu di negeri ini kala
itu. Memang tidak selalu benih yang ditanam akan tumbuh dengan subur layaknya
keinginan, tidak selalu setiap tindakannya akan mendapat dukungan. Kenyataan
pahit pun harus ia hadapi. Di ujung purna tugas yang tinggal beberapa tahun, di
tengah penanganan kasus yang belum selesai, Hoegeng harus melepaskan
jabatannya, lebih tepatnya dilepas dari jabatannya. Ia ditawari menjadi Kedubes
Kerajaan Belgia namun menurut Hoegeng itu bukan bidang yang tepat untuknya. Ia
ingin mengabdikan dirinya untuk Indonesia tetapi bukan menjadi Dubes. Ia ingin
mengabdikan dirinya di tanah kelahirannya, bukan di luar negeri. “Kalau
begitu..., saya memang sebaiknya keluar saja,(hlm 368).” Hoegeng memilih
keluar dan menjalani sisa waktu bersama dengan keluarganya.
Kecewa
dan sakit hati adalah dua hal yang tak terlepas dari manusia, hanya saja kadar
dan penyikapannya yang berbeda-beda. Tak terkecuali Hoegeng. Kekecewaannya ia
lunturkan dengan kegiatan yang membawa manfaat. Meski sudah tidak lagi menjadi
bagian dari Polri Hoegeng tetap membantu polisi dalam menunaikan tugasnya. “Beberapa kali, ia memang menitipkan memo
keluhan masyarakat yang diajukan kepadanya melalui Radio Elshinta, kepada
beberapa petugas polisi yang ditemuinya di jalanan (hlm 417).”
Yudhi Herwibowo berhasil mengajak pembaca
untuk menelusuri perjuangan Hoegeng di akhir masa kepemimpinannya dengan alur
yang manawan. Novel ini menjadi bacaan segar sekaligus menginspirasi bagi
siapapun yang ingin menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat untuk negeri
ini.
Catatan : pernah dikirimkan ke media cetak, tetapi belum lolos.
No comments:
Post a Comment