Monday, January 25, 2016

TETESAN EMBUN UNTUK POLRI


               Judul buku      : Halaman Terakhir, Sebuah Novel  tentang Jenderal Polisi Hoegeng
               Pengarang       : Yudhi Herwibowo
               Penerbit           : Noura Books
               Cetakan           : Februari 2015
               Tebal               : 434 halaman
               ISBN               : 9786027816657

            Prahara Kapolri dan KPK belum juga menuai ujung.  Posisi kepemimpinan Kapolri juga masih belum terjawab. Kasus demi kasus yang terjadi di negeri ini datang silih berganti. Dan semuanya menuntut untuk terselesaikan. Di tengah memanasnya prahara Kapolri vs KPK hadirlah sebuah novel biografi dengan judul “Halaman Terakhir, Sebuah Novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng” seakan menjadi oase di tengah gurun pasir. Penyejuk bagi hati yang membara. Pelepas dahaga kerinduan akan sosok pemimpin ideal. Entah ini kesengajaan atau kebetulan. Akan tetapi, bukankah tidak ada yang kebetulan di dunia ini? Novel yang dihadirkan saat Polri tengah diguncang  ketidakpercayaan, saat kekuasaan menjadi bagian terpenting dalam episodenya, saat kepemimpinan negeri ini belum lama berganti, novel ini seolah menjadi perenungan tersendiri bagi yang berpikir.
            Keteladanan amatlah penting dalam proses kehidupan ini. Apalagi ia adalah seorang pemimpin, keteladanan menjadi sebuah keharusan. Dikalangan Polri, negeri ini pernah punya seorang pemimpin yang patut diteladani. Ketegasan, keadilan, keberanian, kedisiplinan, kejujuran dan dedikasinya untuk negeri bukan isapan jempol belaka, namun terbukti konkret. Hoegeng tak hanya menerapkan keadilan dan ketegasan pada bawahan ataupun mereka yang melanggar hukum, namun juga kepada keluarganya. Seperti keputusan yang diambil terhadap Aditya, anaknya, saat ia diam-diam mendaftar di Angkatan Udara.“Ini adalah detik-detik terberat baginya. Ia tahu, sebagai Kapolri, tanda tangannya tentu bisa memperlancar upaya anaknya. Tapi, ini tentu tidak adil bagi pendaftar yang lain (hlm 158)”. Perlakuan Hoegeng tersebut tidak hanya terjadi pada Aditya, akan tetapi juga pada istrinya dan anggota keluarga yang lain. Ia tidak ingin masyarakat berprasangka buruk terhadap dirinya dan keluarganya. Bagi Hoegeng jabatan sebagai Kapolri bukan menjadi ajang untuk melebarkan kekuasaan. Hoegeng percaya bahwa “Keteguhan pada sikap yang benar akan terbayar sepadan (hlm 160)”. Dan Hoegeng telah membuktikan, Tuhan selalu memberikan pertolongan kepadanya dan keluarganya.
            Ujian bagi penegak hukum memang tidak ringan. Seorang penegak hukum tentunya sering dihadapkan pada pilihan-pilihan yang berat. Bukan hal yang mudah ketika harus bertindak adil pada pelanggar hukum yang ternyata mereka adalah salah satu anggota keluarga dari rekan kerja, atasan, atau bahkan orang yang paling berkuasa di negeri ini. Rasa sungkan, rikuh, tidak enak dan lain sebagainya menjadi penggoda kaum penegak hukum. Belum lagi ditambah iming-iming kenaikan jabatan, mobil mewah, cek senilai ratusan juta atau yang lainnya. Ini akan menambah daftar betapa beratnya menjadi seorang penegak hukum. Akan tetapi, hal itu tentu tidak mustahil untuk dilakukan. Hoegeng telah membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi penegak hukum yang bersih. Keyakinan pada Tuhan, kematangan kepribadian, rasa cinta terhadap negeri ini, kesadaran akan tanggung jawab yang ia terima, akan menjadi landasan bahwa kebenaran dan keadilan haruslah ditegakkan, apapun resiko yang harus ditanggung. Bukankah setiap pilihan akan menuai tanggung jawab dan resiko?
            Kebaikan memang akan selalu berseberangan dengan keburukan. Keadilan pun demikian. Sosok Hoegeng dengan segala pendiriannya membawa resiko yang sangat besar. Tidak semua penduduk negeri ini menyukai sepak terjang Hoegeng.  Sebab, pola kepemimpin Hoegeng yang cerdas, tegas dan adil akan menjadi pengganggu bagi sekelompok orang yang bertindak culas, jahat, dan cenderung merugikan negara. Bahkan terkadang keputusan tegasnya juga harus berseberangan dengan orang nomor satu di negeri ini kala itu. Memang tidak selalu benih yang ditanam akan tumbuh dengan subur layaknya keinginan, tidak selalu setiap tindakannya akan mendapat dukungan. Kenyataan pahit pun harus ia hadapi. Di ujung purna tugas yang tinggal beberapa tahun, di tengah penanganan kasus yang belum selesai, Hoegeng harus melepaskan jabatannya, lebih tepatnya dilepas dari jabatannya. Ia ditawari menjadi Kedubes Kerajaan Belgia namun menurut Hoegeng itu bukan bidang yang tepat untuknya. Ia ingin mengabdikan dirinya untuk Indonesia tetapi bukan menjadi Dubes. Ia ingin mengabdikan dirinya di tanah kelahirannya, bukan di luar negeri.  “Kalau begitu..., saya memang sebaiknya keluar saja,(hlm 368).” Hoegeng memilih keluar dan menjalani sisa waktu bersama dengan keluarganya.
            Kecewa dan sakit hati adalah dua hal yang tak terlepas dari manusia, hanya saja kadar dan penyikapannya yang berbeda-beda. Tak terkecuali Hoegeng. Kekecewaannya ia lunturkan dengan kegiatan yang membawa manfaat. Meski sudah tidak lagi menjadi bagian dari Polri Hoegeng tetap membantu polisi dalam menunaikan tugasnya. “Beberapa kali, ia memang menitipkan memo keluhan masyarakat yang diajukan kepadanya melalui Radio Elshinta, kepada beberapa petugas polisi yang ditemuinya di jalanan (hlm 417).”
 Yudhi Herwibowo berhasil mengajak pembaca untuk menelusuri perjuangan Hoegeng di akhir masa kepemimpinannya dengan alur yang manawan. Novel ini menjadi bacaan segar sekaligus menginspirasi bagi siapapun yang ingin menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat untuk negeri ini.
Catatan : pernah dikirimkan ke media cetak, tetapi belum lolos.







No comments:

Post a Comment